Dengan ini saya nyatakan, saudara Fajar Alfian dan saudari Kinara Pradnyaswari, telah resmi menyandang status cerai yang sah di mata hukum dan negara.
Palu diketuk hakim, tanda kami resmi berpisah. Tidak dapat kembali, tidak dapat diulang.
Keputusan ini sudah kami sepakati dan dipikirkan matang-matang. Meski sudah melalui mediasi sebanyak 2 kali, tapi kami tetap memutuskan untuk berpisah. Kupikir, ini jalan terbaik kami. Semesta juga sudah cukup memberi restu sampai disini. Rumah tangga yang sudah kami bangun kurang lebih 5 tahun, harus berakhir. Hak asuh anak jatuh ke tanganku, tetapi aku tetap mengijinkan Fajar tetap menjenguk Anggika sesekali. Jika Ia ada waktu.
Ia akan tetap melaksanakan tugasnya sebagai Ayah Kandung, membantu biayanya sekolah, membelikan mainan dan makanan kesukaannya dan kami akan tetap menjadi orang tua yang tidak memiliki masalah apapun selayaknya kami masih bersama. Ya, benar. Kami harus memainkan peran. Mengingat Anggika masih terlalu dini untuk tahu bahwa Ayah dan Bundanya telah berpisah.
Aku tidak pernah membayangkan bahwa kenyataan pahit ini akan menghampiriku. Kami awalnya baik-baik saja sampai akhirnya kebusukan yang sudah ditutup serapat mungkin ternyata tercium juga. Kalian bertanya, bagaimana perasaanku? Tentu saja hancur berkeping-keping. Kepalaku sakit sekali sampai aku memeriksakan diri ke rumah sakit. Hasilnya? Baik-baik saja. Namun, aku dianjurkan untuk ke psikiater. Stres yang aku alami berasal dari kejadian tidak mengenakkan ini. Dimana tubuhku sangat menolak dan memiliki respon sedih yang berlebih. Aku menyimpannya sendiri, agar tidak terlihat sangat mendramatisir apa yang menjadi keputusanku ini. Walau sebenarnya, hal ini juga menyiksa diriku sendiri.
Awalnya aku sempat bingung, bagaimana Anggika selama aku bekerja? Putri kecilku yang masih polos itu, aku begitu menyayanginya. Tapi, aku tidak bisa memantaunya seharian. Aku memerlukan waktu 8 jam bekerja untuk menafkahi anakku dan diriku. Aku tidak mungkin terlalu bergantung dengan Fajar, meski dia rasanya tidak masalah untuk tetap membiayai hidupku juga. Tetapi, aku tahu diri. Itu sudah bukan tanggung jawabnya lagi.
Untung saja aku memiliki sahabat yang bisa diandalkan. Melati atau biasanya aku panggil Meli, sahabatku dari SMA yang baru menikah beberapa bulan ketika aku dan Fajar mengurus perceraian, dengan senang hati mengurus Anggika hanya sampai aku pulang kerja. Mengingat pernikahannya dengan Praveen belum dikaruniai anak, aku bisa menitipkan anak semata wayangku itu. Meskipun, aku juga harus tetap berpikir, jika Melati sudah punya anak nanti, aku harus mencari plan B hingga Z.
Mengenai pekerjaan, aku terbilang cukup mapan. Beberapa orang aku tahu, mereka sedang berbisik mengenai perceraianku. Aku memang tidak punya teman dekat di kantor untuk diajak sharing. Tapi, bosku mengucapkan keprihatinannya atas apa yang aku alami. Dia berharap, perceraian ini dapat dijadikan pelajaran dan motivasi agar aku tetap melangkah maju meski berdarah-darah. Bosku itu memang bijak di satu sisi, tapi terkadang bawel mengenai angka marketing yang tidak menunjukkan peningkatan.
Bayangkan, setiap perceraian, pasti yang terkena adalah pihak perempuan yang menjadi korban perceraian. Harusnya mereka tahu, semapan apapun aku, maupun aku tidak memiliki pekerjaan yang bagus, kalau memang pihak lelaki niatnya selingkuh ya akan tetap selingkuh. Apa karena aku terlalu mapan? Tidak. Aku tidak mungkin menurunkan kualitasku sebagai perempuan hanya untuk lelaki. Jika lelaki itu tidak percaya diri karena kemapananku, maka Ia tidak seimbang untukku.
Ingin rasanya mengatakan hal itu kepada siapapun yang masih juga sempat nyinyir kepadaku. Tapi, percuma saja. Aku hanya memiliki satu mulut untuk banyak telinga yang tak ingin mendengarkanku. Aku hanya memiliki dua tangan yang tak mampu menutup banyak mulut. Tetapi aku akan gunakan kedua tangan ini untuk menutup telingaku sendiri dan bekerja mencari nafkah untuk anakku satu-satunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔️] Mendarah
FanfictionKetika melepaskan juga arti dari Mencintai. Cerita tentang rumah yang berbeda. Setelah sekian tahun lamanya, Anggika Kanigara Pradnyaswari; yang tidak pernah menemui ayah kandungnya, akhirnya berhasil mengalahkan egonya. Kinara; Ibu Kandungnya, meny...