5. Kinara

101 18 11
                                    

Aku memiliki kebiasaan yang sama dengan almarhum mertuaku yaitu merawat tanaman hias. Di usiaku yang sudah 50+ (aku bahkan mengabaikan sudah berapa lama aku hidup), selain masih melanjutkan pekerjaan di kantor, aku juga sambilan merawat tanaman. Di halaman depan, dipenuhi tanaman Anggrek dan Bougenville. Lalu, di dalam rumah ada beberapa tanaman kaktus, sukulen dan monsera. Kegiatan ini sekaligus merilekskan mentalku dari kejenuhan kantor dan kemacetan Jakarta yang sudah menjadi pemandangan seumur hidup.

Aku menerima sebuah amplop coklat besar kali ini (lagi). Tanganku yang sudah mulai keriput itu mengeluarkan isi yang berupa beberapa lembar kertas dan membaca satu persatu penjelasan disana. Aku selalu takut dengan hasilnya. Berharap ada 'kemajuan' di dalam surat itu.

"Bunda, dosen pembimbing aku rese' amat," Anggika menggerutu sambil menyantap mie ayam yang ada didepannya. Pipinya mengembung lucu sambil mengunyah. Matanya sedikit berkaca-kaca. Dia benar-benar kesal. "Kalau revisi skripsi ya mbok sekalian kek. Eh ini malah nyicil. Udah tau duit habis buat nge-print."

"Kan dirumah ada printer? Kenapa printnya nggak dirumah?"

Anggika menghembus nafasnya, "Revisinya secuil gitu loh, Bun. Secuil tapi 10 halaman. Kalau aku balik ke rumah cuma untuk ngeprint ya kelamaan dijalan. Mau besok aja, tapi takut pembimbing susah dicari. Jadi ya.. aku pake rental printer."

Pengalaman mengejar dosen pembimbing di hari-hari pendaftaran sidang tugas akhir itu pernah juga aku rasakan. Entah kenapa emosi kita mendadak naik dan gampang kesal. Aku bisa bilang ini adalah proses yang menyenangkan, walaupun isinya marah-marah. Tetapi bagiku, ini adalah cerita yang kelak kita tertawakan di masa mendatang.

"Surat dari siapa itu, Bun?" Anggika mengalihkan topik. Mempertanyakan benda yang ku genggam. "Ayah?"

Aku mengangguk, "Iya. Dari Ayah."

-Mendarah-

Anggika dan Fajar tidak pernah berkomunikasi lagi dari SMP sampai Kuliah ini. Aku terkejut mendengar pengakuan itu dari anakku sendiri. Padahal Fajar mengaku bahwa Ia dan anaknya itu baik-baik saja. Nyatanya, tidak.

Setelah paham, Anggika memusuhi ayahnya sendiri karena telah mengkhianati Bundanya. Meski aku sudah tak ingin mengungkit lagi, tapi aku mengerti tabiat Anggika yang tidak mudah memberi maaf untuk suatu kesalahan yang fatal. Aku juga sudah berkali-kali memintanya untuk pelan-pelan melupakan apa yang terjadi padaku dan Fajar. Tapi, Anggika ya Anggika. Dia masih tetap memusuhi Fajar.

Anggika juga tak pernah bertanya surat yang selalu kuterima seperti saat ini. Setiap kali dia yang menerima, pasti langsung diberi kepadaku atau tidak ke Rian. Dia tidak mau tahu soal Fajar. Meski Fajar masih mau mengirimkan uang bulanan kepadanya.

Aku tidak pernah tahu apa yang dirasakan Fajar yang ditolak anak kandungnya sendiri. Tapi, dia menerima bahwa memang itu yang harus Ia dapatkan. Bayarannya setimpal dengan apa yang Ia perbuat. Tapi, aku tahu, dia sangat merindukan Anggika dan menahannya selama bertahun-tahun.

"Tania sakit kanker serviks, Ra," pengakuan Fajar malam itu mengejutkanku. "Itulah kenapa kami sampai detik ini, tidak punya anak."

Mataku membulat. Gelas minuman pesananku hampir terjatuh saking aku terkejutnya. Setelah diam beberapa detik, aku menyandarkan tubuhku dan kepalaku mendadak pening. Kalau aku tak punya hati nurani, aku pasti sudah menertawakan apa yang terjadi sekencang-kencangnya. Mengejek Fajar serendah-rendahnya. Tapi, aku sadar, itu hal yang tidak akan membuatku beruntung.

"Aku ngerasa hal ini terjadi karena inilah balasan untuk aku yang ngekhianatin kamu dan inilah hasil dari aku yang tidak bersyukur." lanjutnya dengan penuh sesal.

[✔️] MendarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang