12. Rian

60 10 4
                                    

Mengenai ceritaku tentang seorang kakek dan nenek yang menceritakan tentang konsep pernikahan bagi mereka itu memang sudah aku ceritakan sebagian. Kali ini, ijinkan aku cerita secara detailnya.

Saat itu aku sedang persiapan tesis S2ku. Jadi, kala itu aku mampir ke sebuah toko buku untuk mencari buku yang bisa mendukung penelitian tesis. Berdasarkan rekomendasi dari teman-teman seperjuangan, toko bukunya itu terletak di tengah kota. Cukup jauh dari asramaku. Ketika tiba disana sekitar 1 jam menggunakan angkutan umum, toko buku itu didalamnya ada kafe kecil sehingga bisa bersantai sejenak.

Cuaca dingin yang menyelimuti kota Paris membuatku sedikit berat melangkah. Karena baju tebal yang berat hingga menambah beban berat badanku beberapa ons. Aku berencana akan mencicipi makanan yang dijual di kafe didalam toko buku itu.

Aku mencari buku yang juga di rekomendasikan Dosenku dan aku dapat. Sebenarnya aku hampir mengembalikan ke tempatnya karena harganya yang sangat mahal. Kalau di Indonesia, mungkin sudah berniat mencari e-book bajakannya saja. Rencanaku setelah itu mengunjungi kafe tetap aku lakukan. Memesan sepotong roti dan duduk di sebuah table.

Makin lama pengunjung makin ramai. Aku tak menggubris beberapa orang dengan berisiknya bergosip menggunakan bahasa mereka. Aku tetap sibuk membaca buku dan tidak sadar ada seorang nenek yang menghampiriku.

"Nak, apakah kursi ini kosong?" beliau menggunakan bahasa Prancis dan tentu saja aku mengerti meskipun aku sedikit budeg dialeknya. Ia menunjuk kursi yang ada di depanku dan memastikan bahwa table yang aku duduki tidak ada orang selain aku. Dilihat-lihat, semua meja sudah penuh -kecuali aku.

"Oui. Silahkan duduk disini."

"Merci." Nenek itu memanggil seorang Kakek, ya itu pasti suaminya. Untuk duduk disebelahnya. Suaminya membawa sebuah nampan berisi pesanan mereka dan meletakkannya diatas meja.

"Darimana asalmu anak muda?" tanya Kakek itu.

"Indonesia," jawabku lalu memberi senyum setelah itu. Kami berkenalan. Si Nenek bernama Ellena dan si Kakek bernama Adalard.

"Sudah berapa lama disini?"

"Hampir 5 tahun, untuk pendidikan." aku menutup buku dan memilih untuk berbicara dengan mereka.

"Kamu anak muda yang sehat! Dulu, aku sepertimu. Mengejar pendidikan walaupun di negeri orang itu luar biasa. Mungkin berat. Tetapi, aku juga diberi kekasih saat kuliah," ujar Ellena sambil menunjuk Adalard.

"Kau punya kekasih?"

Aku menggeleng sebagai jawaban untuk Adalard, "Saya tidak punya."

"Oh tidak masalah. Lebih baik kamu selesaikan pendidikan dulu, mencari penghasilan dan setelahnya terserahmu. Boleh menikah."

"Ah aku setuju. Lebih baik begitu," sambung Ellena.

Ada jeda sejenak diantara kami bertiga. Ellena dan Adalard mencicipi makanan yang mereka pesan. Masing-masing dari mereka memberi pendapat tentang makanan yang mereka cicipi. Katanya, lumayan.

"Kalian berdua saja? Aku kira, mungkin menantu atau anak kalian ada disini," mataku melihat sekeliling. Mungkin ada sanak saudaranya yang mencari mereka.

"Haha. Kalau anak-anak, kami punya banyak. Jika yang kau maksud adalah anak kandung, kami tidak punya." mereka berdua tertawa tanpa merasa tersinggung. Justru aku terkejut dan takut sekali jika pertanyaanku membuat mereka sedih -ternyata tidak.

Aku tertegun. Seperti mereka mengerti ketidakpahamanku, Adalard menjelaskannya tanpa merasa keberatan.

"Saat aku kuliah dulu, banyak kawan-kawanku berangan-angan menikah lalu memiliki anak. Semuanya seperti itu. Mungkin kalau di survei, hanya aku yang mungkin tidak ingin memiliki anak. Karena pengalamanku mengurus anak-anak pamanku yang ribet, aku sempat berpikiran untuk tidak memiliki anak walau sudah menikah, " curhatnya.

[✔️] MendarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang