⌚️ Arloji Dari Ayah ⌚️

332 12 5
                                    

Cerpen : Arloji Dari Ayah
Karya : Nasywa S.
Akun wp : awawol

______________________________________________

Aku mengamati sekeliling. Suasana Kantin begitu ramai, siswa-siswi SMP Cakrabuana tampak berlalu lalang, dari mulai kelas tujuh sampai kelas sembilan, semuanya berbaur membentuk lautan manusia berpeluh. Kutengok jam di salah satu sudut Kantin. Aku mengernyit, jam di sana menunjukkan pukul tujuh pagi.

Bagaimana mungkin? Bukankah istirahat biasanya dimulai pukul setengah sembilan? Kenapa jam di sana masih menunjukkan pukul tujuh?

Aku diam, sementara mataku menelisik jam itu dengan tajam. Ada sesuatu yang janggal dari jam itu. Ketika aku perhatikan lagi, ternyata jarum jam itu memang berhenti bergerak. Aku bernapas lega, ternyata waktu tidak benar-benar berhenti seperti apa yang kukira.

"Ngelihatin apa Ar?" Lekas aku menoleh tatkala pertanyaan itu terdengar. Rima tampak menatapku kebingungan, "Serius amat!" tambahnya.

Aku meringis, merasa menjadi bodoh juga karena telah mengira waktu bisa terhenti seperti dalam cerita fantasi. "Hehe, enggak kok. Bukan apa-apa," elakku, dan Rima pun kembali melahap baksonya seolah memang tak mau meneruskan perbincangan.

Aku menengok ke arah Fahira yang duduk di sampingku. Adikku yang masih kelas tujuh itu tampak dengan lahap memakan baksonya. Kutengok di pergelangan tangannya ada jam tangan. Bagus. Aku bisa bertanya jam berapa sekarang.

"Fahira?"

Fahira menoleh padaku. "Kenapa Kak?"

"Jam berapa?" tanyaku.

Fahira menggidikkan bahunya. "Tidak tahu Kak."

"Itu di tanganmu kan ada jam," kataku seraya mengetuk-ngetukkan jari pada arloji di tangan Fahira.

Aku terkejut. Tiba-tiba Fahira menarik tangannya dengan cepat. "Jangan disentuh Kak!" larangnya.

Aku merasa heran. "Kenapa?"

Fahira kembali mengangkat bahunya. "Tidak apa-apa. Hanya, jangan sentuh saja. Apalagi mengetuk-ngetukkan jarimu seperti tadi. Aku tak mau jamku rusak!"

"Kenapa sih? Aku kan hanya ingin melihat jam berapa sekarang." Aku menarik tangan kiri Fahira, melihat arloji di tangannya. Tapi aku merasa heran. Jarum jam di arloji Fahira tak bergerak.

Fahira menarik tangannya kasar. "Sudah kubilang jangan sentuh!" serunya.

"Jammu mati," kataku tanpa memedulikan seruannya.

"Memang mati," sahutnya cepat.

"Kalau sudah mati kenapa masih dipakai? Ganti saja. Lagi pula ..." Aku kembali menarik tangan Fahira, memerhatikan arloji yang ia kenakan. "Itu kan jam yang Ayah belikan setahun yang lalu. Punyaku saja sudah rusak. Sudahlah buang saja, aku yakin Ayah akan membelikanmu jam baru."

Fahira kembali menepis tangannya kasar. Tatapannya lurus menyerobot mataku dengan pandangan tak suka. "Ini bukan tentang lama atau baru, bukan tentang barang yang masih hidup atau sudah mati," ujarnya dengan nada tak suka.

Hei, apa salahku? Aku kan hanya sedang mengatakan pendapatku. Kenapa Fahira malah terlihat kesal?

Fahira berdiri dari tempat duduknya. Ia menghela napas, sementara tangannya menyodorkan semangkuk bakso miliknya pada Rima. "Aku sudah kenyang, aku mau masuk ke Kelas. Kalau Kak Rima mau silakan, habiskan saja," ujarnya. Aku bertambah bingung sementara mata Rima malah berbinar senang.

Liburan BerkaryaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang