🤗Ibu, Aku Rindu🤗

67 6 1
                                    

Sebagai penutup, ini ada cerpen dari sosok anonim, sila baca :^)

________,,,_________,,_________,,,________,,________

                            💕 ** 💕

Tidak ada yang istimewa dariku. Gadis yang terlahir dari keluarga sederhana. Rumah kecil yang berlantai tanah, baju yang hanya tiga macam, dan mainan-mainan sederhana yang ayah buat untuk putri kesayangannya ini. Namun, aku tidak pernah menyesalinya. Karena ibu pernah bilang “Semua itu pemberian dari Allah. Kita harus beryukur.”

Aku ingat betul kalimat sederhana nan indah itu. Ibu selalu mengucapkannya, ketika putri kecilnya ini tengah mengeluh.

Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, semuanya berubah. Ibu terpaksa pergi ke luar kota untuk bekerja. Keadaan kami dulu sangat memprihatinkan. Ayah hanya menjadi tukang kayu, gajinya tak cukup untuk membiayai kelima anaknya termasuk aku.

Hari-hari aku lalui bersama ayah. Kemanapun beliau bekerja, pasti aku ikut. Sepeda ontel yang usang itu buktinya.

Ya, ayah sering mengajakku saat dirinya bekerja di rumah orang. Di sana, aku hanya duduk dan melihat ayahku membuat perabotan dari kayu. Sesekali bermain dengan benda-benda kecil seperti serpihan ampas kayu dan potongan kayu kecil.

Aku suka menggambar, karena itu saat ayah bekerja, aku sibuk menggambar di halaman rumah dengan potongan kayu. Atau membuat kue dari ampas kayu itu.

Kadang, kalau hujan... Ayah tetap bekerja. Pernah waktu itu, aku dan ayah pulang hujan-hujanan dengan sepeda usang itu. Aku selalu tersenyum saat mengingat kejadian delapan tahun yang lalu. Rasanya bahagia itu sederhana sekali, seperti saat ayah memboncengku di sepeda tuanya dan menikmati rintik hujan sore.

Tidak hanya itu. Banyak sekali kenanganku bersama ayah di waktu kecil. Ayah dulu setiap pagi mengantarkanku ke sekolah dengan sepeda bututnya. Malu? Tidaklah. Aku justru bangga memiliki ayah seperti ayahku.

“Ara berangkat dulu yah. Assalamu'alaikum,” salamku menjabat tangan ayah yang kasar karena mencari sepeser rupiah untuk anak-anaknya.

“Wa'alaikumussaalam. Belajar yang rajin, Nak. Biar nanti kamu bisa jadi orang sukses. Tidak seperti ayahmu ini.”

“Iya, ayah,” jawabku menunjukkan senyum termanis.

Ayah kembali pulang dengan sepedanya. Aku pun bergegas masuk kelas.

Bagiku, kata-kata ayah adalah motivasi dan penyemangat buah hatinya. Pondasi kuat agar aku tidak terjerumus dalam ruang lingkup yang salah. Sampat saat ini aku masih memegang kuat prinsip itu.

Di sekolah, aku punya banyak teman-teman yang selalu menghiburku. Membuatku lupa, jika ibu jauh di luar kota. Mengurangi sedikit rasa rinduku padanya.

“Ra, main masak-masakkan yuk!” ajak Zulfa teman semejaku.

“Boleh, ajak yang lain juga ya biar ramai,” saranku pada Zulfa.

Aku, Zulfa, dan tiga orang teman yang lain mendekat ke arah pohon beringin yang tepat berada di depan mushola. Zulfa sedang memetik buah pohon beringin dan akar-akar kecil yang menggantung di sana. Sedangkan yang lain mengumpulkan batu besar dan kecil untuk menumbuknya. Sisanya mengumpulkan batu bata sebagai bumbu dari masakan itu.

“Yeaayy!! Dah siap!” seru Yumi, teman kami yang paling bawel dan cerewet.

“Alhamdulillah, pasti enak nih masakan kita,” timpal Icha.

“Yuk, makan-makan..” ajak Ratna.

“Hayuk!!!” jawab kami dengan semangat 45.

Lagi-lagi aku belajar dari masa kecilku. Bahagia itu memang sederhana. Tak perlu dengan mobil mewah, uang, dan ponsel canggih. Cukup bermain bersama-sama dengan teman, sudah mampu melukis senyum di hati.

Liburan BerkaryaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang