Menjelang usia 5 tahun ia mulai bisa berkomunikasi secara verbal walaupun belum sebanyak anak seusianya. Ia sudah bisa berkomunikasi dua arah secukupnya paling tidak untuk meminta sesuatu. Ia juga sudah bisa menyebut namanya sendiri dan mengidentifikasi keluarga inti. Namun hal yang mengkhawatirkan adalah ia salah dalam menjawab pertanyaan orang lain. Apalagi pertanyaan yang bersifat basa-basi. Kadang yang diberikan tidak menjawab pertanyaan yang diberikan. Terdengar lucu karena lain pertanyaan, lain lagi jawaban yang diberikannya.
Usia ini berarti ia harus masuk sekolah taman kanak-kanak. Aku mencari informasi tentang pilihan sekolah yang cocok untuknya. Aku bertanya dan berdiskusi dengan beberapa orang tua yang punya pengalaman menyerahkan anak mereka ke TK yang berlokasi tidak jauh dari rumah kami. Akhirnya kami memutuskan untuk mendaftarkannya ke sebuah taman kanak-kanak Islam yang lumayan banyak peminatnya. Sekolah ini berlokasi di lingkungan masjid yang bernama Baitul A'la, dan guru-guru pengasuhnya terkenal sabar dan ramah anak.
Berbeda dengan kedua kakaknya pada saat masuk sekolah. Aku tak melakukan investigasi untuk menemukan sekolah yang akan dimasuki. Keduanya aku daftarkan begitu saja di TK Aisyah. Tiada keraguan pada mereka untuk bisa menjalani persekolahannya. Berbeda untuk kali ini banyak sekali kebimbangan dan kekhawatiran untuk melepasnya ke dunia sekolah tanpa perhatian lansung dariku.
Cukup beralasan kenapa aku tak sampai hati melepasnya. Aku belum melihat kemandiriannya sementara untuk berkomunikasi dengan orang lain ia belum lancar. Pada saat itu ia seperti tidak mengenal batasan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Ia akan melakukan apa saja secara spontan apa yang menjadi keinginan dan ketertarikannya, dan tidak bisa dilarang. Dengan segala upaya ia akan melakukan apa yang dia mau.
"Bagaimana nanti dengan aturan di sekolah? Rutinitas seperti berbaris, duduk manis dan mengerjakan pekerjaan sekolah secara runtut atas perintah ibu guru atau orang lain?", fikirku. Aku tak bisa membayangkan bagaimana reaksinya nanti untuk sesuatu yang bukan bersumber dari keinginannya. Aku yakin ia akan menolak melakukan itu. Walaupun demikian aku harus membulatkan tekad dan menyiapkan diri untuk segala kemungkinan. Ia harus berinteraksi dengan lingkungan sekolah sebagai makhluk sosial. Belajar untuk beradaptasi dan memahami orang lain. Ia harus menjadi bagian dari dunia sekolah.
Setelah semua urusan administrasi pendaftaran selesai, kami menunggu hari masuk sekolah. Aku mulai menjelaskan bahwa sebentar lagi ia akan bersekolah. Di sana banyak teman dan alat bermain. Di sekolah nanti juga akan belajar membaca doa, dan sebagainya.
Hari pertama sekolah pun tiba. Aku dan ayahnya menemani ke sekolah. Hari ini belum berpakaian seragam karena pihak sekolah belum membagikannya. Jadi ia hanya memakai kaos dan celana selutut.
Setiap peserta didik baru diantar oleh orangtua atau walinya. Barangkali karena ini taman kanak-kanak maka orang tua atau wali dibolehkan mendampingi putra atau putri mereka sampai ke kelas. Walaupun guru sudah mengingatkan untuk tidak ikut masuk ke dalam kelas, masih juga ada beberapa orang tua yang masuk. Hal itu karena anak mereka tidak mau jauh dari orangtuanya. Ada yang menangis, ada juga yang matanya terus mencari-cari keberadaan ayah atau ibunya dengan wajah yang galau.
Begitu juga dengan diriku. Bukan putraku yang terlihat cemas atau takut pada hari pertama ini, tetapi aku yang dag-dig-dug. Aku cemas atau takut kalau ia tidak bisa beradaptasi. Ku awasi dari jendela apa yang terjadi di dalam kelas tersebut. Setelah berbaris mereka bersalaman dengan Ibu guru secara bergiliran dan seterusnya berjalan menuju tempatduduk masing-masing. Setelah semua duduk dengan rapi, mereka berdoa menirukan Ibu guru. Kemudian Ibu guru mulai membangun ikatan dengan para siswa mungil ini dengan melontarkan pertanyaan dan instruksi ringan.
Ibu guru:"Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh"
Siswa:"waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh"
Ibu guru:"Selamat datang anak-anak Ibu semua. Senang?"
Siswa:"senang...."
Ibu guru:"Ayo kita nyanyikan lagu 'di sini senang."
Ibu guru mulai menyanyi diikuti oleh siswa imut-imut ini. Banyak juga yang bisa menyanyikan lagu tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Belajar dari Anakku
Non-FictionSeorang anak laki-laki yang lahir sehat di tengah keluarga yang saling menyayangi. Pada usia yang belum genap 1 tahun ia harus mengalami trauma karena jatuh dari lantai dua rumahnya. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Kejadian terseb...