Hari kedua ia diantar ayahnya ke sekolah. Seperti anak-anak lain ia ikut berbaris dan masuk kelas mengikuti kegiatan belajar dan bermain bersama guru-gurunya. Hari ini belum ada waktu istirahat. Selesai satu sesi, anak-anak diizinkan pulang. Karena dengan ayahnya ia tak banyak permintaan dan lansung pulang ke rumah.
Keesokan harinya giliranku mengantar ke sekolah. Setelah semua anak masuk kelas, dan orang tua pun tidak diizinkan lagi menemani anak sampai di dalam kelas. Aku beranjak menuju sekolah tempat aku mengajar untuk suatu urusan. Kebetulan tidak ada jam mengajar sehingga aku bisa kembali ke TK sebelum jam 10 saatnya anak-anak bubar. Tanpa diduga, tiba-tiba ada pertemuan singkat di sekolah yang berakibat aku sampai di TK lewat dari jam 10. Aku bergegas menuju kelas anakku, tapi sudah tidak kutemukan ia di sana. Ku tanya pada guru pengasuh, ia mengatakan anakku bermain dengan temannya di luar. Aku keluar bersama bu guru untuk mencarinya. Bu guru bertanya pada teman bermainnya tadi yang juga masih di sana. Temannya mengatakan ada di tempat penjual mainan. Ia juga mengatakan kalau anakku mengambil makanan di kantin tanpa membayar. Setelah mengucapkan terima kasih aku segera menuju lapak penjual mainan dengan setengah berlari.
Aku lihat ia sedang asyik mengamati mainan yang ada di sana. Aku mengira penjual membiarkannya memegang atau mencoba mainan tersebut. Segera kudekati dan memanggilnya. Aku bertanya,"kenapa Adek main di sini?" Tadi izin sama Ibu guru atau tidak?" Dia menggeleng dan minta dibelikan pistol mainan yang baru. "Ma, mau yang itu", sambil berjalan ke arah mainan tersebut dan meraihnya.
Aku ambil dan melihat pistol itu. Sekarang ia sudah tahu bahwa pistol itu bisa dibawa pulang dengan membeli. Pelan-pelan kupegang bahunya dan menatap matanya sambil mengatakan,"Dek, mainan Adek sudah banyak. Kemaren lusa juga baru beli di sini. Sekarang tidak boleh beli mainan lagi. Lagi pula harganya mahal, nanti uang Mama bisa habis". Dia tidak protes, barangkali dia mengerti dengan apa yang aku sampaikan.
Satu misi terlewati. Sekarang misi kedua. Aku ajak ke kantin di mana jata temannya ia memgambil makanan tanpa membayar. Aku sadar betul peristiwa ini bukan berarti ia mau mencuri tetapi karena ia tidak terbiasa untuk jajan. Ia belum mengerti dengan uang karena tak pernah diberi uang dan jajan sendiri. Biasanya kami satu paket keluarga jalan bersama untuk membeli keperluan di rumah termasuk makanan kecil untuknya dan kakak-kakaknya. Aku biasa 'nyetok' apa yang mereka inginkan.
Sesampai di kantin kami menemui penjaga dan bertanya,"Bu, tadi anak saya jajan dan belum batar ya?", sambil menunjukkan anakku.
"Betul, Bu. Sudah saya kasih tahu tapi dia diam saja, malah kembali bermain",jawab Ibu kantin.
"Maaf ya, Bu. Dia belum terbiasa jajan sendiri",ujarku. Kemudian aku berbicara pada anakku,"Tadi Adek ambil apa aja nakanan Ibu kantin?" Ia menunjukkan kue dan minuman yang tadi diambil, dan dibenarkan oleh Ibu kantin. "Dek, sini Mama kasih tau. Kue dan minuman ini jualan Ibu kantin. Kalau Adek mau, Adek harus membayar pakai uang. Bukan diambil saja". Aku coba menjelaskan. Kusodorkan uang dan memintanya untuk membayar kepada Ibu kantin. "Terima kasih, Ibu", ucapku. Tanpa diduga jagoanku pun meniru dan berujar,"terima kasih".Kami segera pulang ke runah. Ada rasa lelah karena dihadapkan pada kejadian-kejadian mengejutkan yang cukup menyita energi. Namun rasa lelah dikalahkan oleh rasa senang karena anakku banyak belajar dari lingkungan baru yang ia temui.
Semakin hari ia telah lebih mengenal lingkungan sekolahnya. Namun ia mudah merasa bosan dengan kegiatan rutin yang berulang setiap hari. Ia lebih senang bermain di luar ruangan dan melakukan apa saja yang ia sukai. Hal ini membuat rasa khawatirku bertambah karena kami tidak bisa menungguinya sepanjang waktu di sekolah. Aku takut ia akan keluar dari pekarangan sekolah atau bisa ia dibawa oleh orang yang tak bertanggung jawab. Bukan tak percaya dengan pihak sekolah, tetapi karena lingkungan terbukanya cukup luas dan banyak orang yang berada di sana dengan aktifitas yang berbeda. Ditambah lagi keinginan bereksplorasi dan keingintahuan anakku yang cukup tinggi. Ini semua menimbulkan kemungkinan- kemungkinan buruk yang bisa terjadi terus menghantuiku.
Aku dan ayahnya memutuskan mengistirahatkan sekolahnya untuk beberapa saat. Namun akhirnya ia sendiri tidak mau lagi diantar ke sekolah. Setelah memikirkan baik buruknya, kami memutuskan untuk menunda hingga tahun depan. Sebagai gantinya kami memfasilitasi sarana belajarnya dengan menyediakan CD interaktif sesuai dengan usianya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Belajar dari Anakku
Non-FictionSeorang anak laki-laki yang lahir sehat di tengah keluarga yang saling menyayangi. Pada usia yang belum genap 1 tahun ia harus mengalami trauma karena jatuh dari lantai dua rumahnya. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Kejadian terseb...