Perjalanan ke Bandung

13 0 0
                                    

Kejadian-kejadian dalam perjalanan menuju dan di Bandung menambah kecurigaanku terhadap pola tingkah laku anakku. Semakin menimbulkan pertanyaan besar yang belum terjawab. Kami berangkat dari kota kecil kami sekitar bulan April 2005, pada saat umurnya 22 bulan. Kami berangkat dengan menaiki bus Siliwangi Antar Nusa (SAN) yang cukup nyaman dan aman. Pada saat menaiki bus ia merasa senang. Ia digendong oleh ayahnya dan duduk di bangku yang sudah dipesan.

Saatnya bus akan berangkat, ayahnya segera turun meninggalkan kami berdua di dalam bus. Mobilpun mulai bergerak meninggalkan terminal. Ayah dan kedua kakaknya melambaikan tangan melepas kepergian kami. Seketika kepalanya menoleh ke kanan, ke kiri, dan pandangannya menyapu sepanjang deretan bangku bus. Ia seperti mencari-cari sesuatu. Menyadari tak menemukan apa yang dicarinya ia menangis dan menunjuk-nunjuk. Ia berontak ingin turun dari pangkuanku. Kemudian aku gendong sambil berdiri, namun ia tetap menangis dan menunjuk pada seorang Bapak yang duduk dua baris di depan kami. Aku bawa ke sana, Bapak tersebut mengulurkan tangan untuk menggendongnya. Stelah dilihatnya Bapak itu sesaat, ia kembali meronta-ronta.

  Mungkin Bapak itu kasihan melihat aku yang cukup bersusah payah mengupayakan supaya ia menjadi tenang. Belum lagi aku merasa sangat tidak enak hati dengan penumpang lain yang sudah pasti terganggu oleh tangisan anakku.

Melihat hal itu aku baru menyadari bahwa ia menangis karena ayahnya tidak ikut bersama kami. Barangkali tadi berharap bahwa kami akan pergi bersama-sama. Aku perlu waktu untuk memahami keadaan ini karena sampai saat ini anakku belum bisa berbicara. Ia hanya meminta sesuatu melalui gerakan. Ia lebih banyak bermain sendiri dengan alat-alat yang ia senangi. Kalau ditanya ia sering tak peduli. Jika ia membutuhkan sesuatu dan perlu bantuan, ia akan menarik tanganku dan mengarahkannya kepada apa yang ia inginkan.

Beruntung aku berada di dalam bus yang penumpangnya mempunyai empati yang tinggi. Tak satu pun mereka menunjukkan rasa terganggu. Malahan mereka memberikan berbagai usulan untuk solusi. "Mungkin ia maduk angin. Coba baluri dengan minyak telon", kata seorang ibu.
"Matanya terlihat jalang, mungkin diganggu setan", ujar yang lainnya lagi. Ada juga yang mengusulkan,"susui aja, Buk. Dia ASI kan?"
Semua yang disarankan oleh penumpang lain aku lakukan. Mulai dari menggosok perut, punggung, dan kakinya dengan mintak kayu putih campur minyak telon. Kemudian menyusuinya sambil mengelus punggungnya dengan lembut. Mulutku tak henti-hentinya membaca ayat-ayat ruqiyah yang aku hafal. Kemudian kutiupkan ke seluruh tubuhnya, ditambah dengan doa agar aku diberi kekuatan dan kesabaran. Begitu juga doa agar anakku dijauhkan dari gangguan jin dan syetan, rasa mual dan sebagainya.

Akhirnya ia bisa tertidur dalam pangkuanku. Mungkin juga karena sudah kelelahan karena menangis.

Hampir jam 4 sore esok hari sampai juga kami di Bandung, tepatnya di jalan Soekarno  Hatta dimana pool bus SAN berlokasi. Kami sudah ditunggu oleh adik laki-lakiku yang berdomisili di sana. Ia baru saja pindah dari Bandung ke daerah Bale Endah. Untuk sampai ke sana kami menaiki angkutan umum. Kebetulan kami bersama dengan penumpang lain yang juga membawa anak kecil. Sianak memegang sebungkus permen. Tiba-tiba anakku menunjuk ke arah permen anak tersebut. Aku pura-pura tidak tahu kalau ia menginginkan permen itu. Aku malu, terlebih lagi aku tak mengenal ibu dan anak di depanku itu. Ia kemudian menangis meminta, dan aku membujuknya untuk membeli nanti begitu kami sampai. Namun ia tak mau diam. Si Ibu yang di depanku membagi 2 buah kepada anakku, dan diterimanya. Tapi, subhanallah ia masih belum puas dan menginginkan semua permen sianak. Tentu saja aku tak mengizinkannya. Ia terus menangis semaunya dan kubiarkan hingga kami sampai di tujuan.

Beberapa hari kemudian adalagi cerita yang yang membuat aku cemas. Sepulang dari rumah pengobatan, kami berhenti di jalan untuk membeli sesuatu. Waktu sudah memasuki Maghrib, dan mulai remang-remang. Apalagi di kota Bandung sudah mulai rintik-rintik hujan dan sedikit dingin. Sedikit saja aku lengah, anakku hilang dari sisiku. Ku edarkan pandangan sekeliling tapi tak kutemukan. Aku mulai panik, dan berjalan ke arah belokan. Aku sangat terkejut karena ia sudah bergabung dengan pemusik jalanan yang tidak jauh dari tempat aku berdiri. Kulihat ia memukul gendang pemusik tersebut dan mereka membiarkanya.

Ya Allah, aku tidak menuduh pengamen itu orang jahat. Tapi aku sedikit khawatir kalau ada diantara mereka yang mudah tersinggung dan sebagainya seperti gambaran buruk yang diceritakan sebagian orang. Dengan hati-hati aku mendekati mereka dan memohon maaf karena anakku mengganggu. Aku membujuk anakku sembari kuraih ke dalam gendongan. Ternyata mereka para seniman yang sopan dan baik hati. Mereka mengatakan tidak masalah anakku ada di sana.

Rasanya ingin aku menangis, tetapi aku berusaha tenang dan kuat demi sibuah hati. Aku tak tega untuk memarahinya karena aku yakin dengan mengumbar kepanikan dan kemarahan akan memperburuk keadaan. Bagi anakku sendiri  tentu kondisi yang dialaminya juga menjadi beban tersendiri. Ia belum mampu menyampaikan apa yang ada dalam fikiran dan keinginannya. Demikian juga tidak semua orang bisa mengerti dengan apa yang ia maksudkan.

Dalam hal ini aku belajar untuk menjadi seseorang yang bisa menerima ketentuan dari yang maha kuasa. Dengan menerima ini sebagai takdir dan mencintai profesi sebagai ibu yang mengutamakan kepentingan sibuah hati, memupuk kesabaran dalam hatiku. Meyakini keikhlasan dalam menerima ketentuan ini merupakan ladang amal yang diberikan Allah untukku sebagai jawaban doa-doaku. Doa yang selalu meminta pengampunan dan keberkahan. Tentu Allah akan mengampuni dosa-dosaku sebanding dengan keikhlasan dan kebaikan yang kulakukan.

Belajar dari AnakkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang