Ibu guru mulai menyanyi diikuti oleh siswa imut-imut ini. Banyak juga yang bisa menyanyikan lagu tersebut. Setelah selesai serangkaian 'warming up', ibu guru memperkenalkan diri. Selanjutnya setiap anak pun memperkenalkan nama mereka. Ibu guru memberikan contoh, "assalamualaikum teman-teman, perkenalkan namaku Siti Hawa, panggil saja Hawa. Terima kasih." Beberapa anak maju dengan berani memperkenalkan dirinya, ada juga yang malu-malu dan dibantu oleh bu guru. Ada juga yang belum berani dan tidak mau.
Begitu juga dengan jagoanku. Ia mulai berjalan mengelilingi ruang kelas, memperhatikan setiap sudut ruangan. Ia seolah tidak peduli dengan apa yang tengah dilakukan teman-temannya pada saat itu. Ia seakan asyik dengan fikirannya sendiri. Ibu guru membiarkan ia dengan aktifitasnya karena tidak mengganggu siapapun. Sampai gilirannya untuk memperkebalkan diri. Waktu namanya dipanggil ia hanya melihat sejenak kepada Ibu guru dan tidak bicara apa pun.
Sudah jam 10 pagi. Saatnya siswa-siswi untuk pulang ke rumah masing-masing. Orang tua yang masih berada di lingkungan sekolah segera menghampiri buah hatinya dan beranjak pulang. Suasana sekolah sangat ramai dan semrawut karena banyak sekali manusia maupun kenderaan keluar masuk. Aku segera menggandeng tangannya agar ia tak berlari ke sana ke mari. Tiba-tiba ia menarik tanganku menuju penjual mainan yang membuka lapak di pekarangan masjid. Tanpa basa- basi ia mulai memilih pistol mainan yang terhampar di atas karpet plastik penjual. Ia ambil dan mencobanya sebentar, kemudian diletakkan kembali jika tidak disukainya. Akhirnya jatuh pilihan pada pistol mainan laras panjang berwarna hitam.
Ia lansung mengangkat dan mengajakku pergi. Ia belum mengerti kalau benda itu harus dibayar. Dengan cepat aku meraih tangannya dan memberitahu, "Dek, mainan ini harus dibeli pakai uang. Nggak boleh diambil aja. Kita tanya dulu sama Bapak penjual, ya." Ia diam saja berdiri di sampingku. Aku bernegosiasi dengan penjual dan membayarnya. Kemudian kami mengucapkan terima kasih kepada bapak penjual dan segera pulang.
Sesampai di rumah dan ganti pakaian, ia asyik dengan mainan barunya. Aku pun sibuk dengan pekerjaan rumah yang belum selesai dikerjakan. Di tengah keasyikannya bermain, aku mendengar ia mengulang apa yang didengarnya di sekolah tadi pagi. "Assalamualaikum. Namaku Muhamad alpikli. Telima kasih", dengan logat yang masih cadel. Aku terperanjat dan merasa sangat senang. Yang aku fikirkan bahwa ia tak peduli dengan kegiatan sekolahnya ternyata salah besar. Walaupun ia seolah asyik sendiri dengan aktifitas pribadinya ternyata ia menyimak dan menyerap apa yang sedang berlangsung di hadapannya. Ia tidak memperlihatkan kemampuannya, bahkan berusaha menyembunyikannya. "Oh, mungkin anakku bertipe introvert." Tidak masalah karena introvert yang terarah dengan baik menunjukkan kerendahan hati. Dugaanku semakin kuat karena ia juga tidak suka dengan kebisingan.
Introvert atau extrovert merupakan ketentuan dari yang maha kuasa. Tentu saja Tuhan menciptakan dengan segala kebaikan. Setiap ciptaannya adalah anugerah untuk saling melengkapi. Sehingga hidup dan kehidupan menjadi berwarna. Tinggal bagaimana kita sebagai umat manusia memanfaatkan semua anugerah ini menjadi sesuatu yang bernilai dan bermakna.
Tidak apa-apa ia tidak mau memperagakan apa yang dia bisa. Yang terpenting saat ini ia bisa menemukan dan memiliki ilmu atau informasi yang seyogyanya diuntukkan baginya. Dengan demikian itu berarti ia bisa menjalani proses belajar dengan baik. Puji syukur yang selalu kupanjatkan ke haribaan Allah swt beriringan dengan doa yang tak pernah putus untuk kebaikan anakku.
Ini pengalaman hari pertama. Bagaimana dengan hari kedua. Kita lihat nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Belajar dari Anakku
Non-FictionSeorang anak laki-laki yang lahir sehat di tengah keluarga yang saling menyayangi. Pada usia yang belum genap 1 tahun ia harus mengalami trauma karena jatuh dari lantai dua rumahnya. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Kejadian terseb...