Yhara Rawnie Parveen
Bandung, 18 Februari 2016
Setiap gue selesai mengunci pintu kostan dan berjalan ke arah gerbang, pemandangan pertama yang gue lihat adalah Pak Dharma – penjaga kostan gue, sedang membersihkan daun berwana merah muda yang jatuh dari pohon tabebuya yang ada di depan kostan gue.
Lalu berjalan sedikit ke luar, gue akan menemukan penjual gorengan di perempatan yang sedang menggoreng dagangannya – sedang menggoreng tahu isi, biasanya baru terdapat tiga tumpukan gorengan di gerobaknya – pisang goreng, ubi goreng dan bakwan.
Kemudian gue sampai di luar komplek dan duduk di kursi yang ada di halte, bertemu dengan bapak penjual majalah yang selalu memakai topi kuning bergambarkan logo Golkar dengan angka empat di atasnya, yang biasanya akan memberikan sebuah koran kepada seorang pria paruh baya yang menggunakan kemeja dengan tangan yang selalu digulung.
Daripada bus kota, gue akan lebih memilih angkot. Walau lebih kecil dan harganya lebih mahal, tapi setidaknya gue tidak harus berebut untuk naik paling duluan karena jumlahnya yang lebih banyak.
Tapi hari ini yang pertama gue lihat saat sedang berjalan ke arah gerbang adalah Pak Dharma dengan sepiring lontong sayur yang sudah termakan setengahnya.
Kemudian penjual gorengan yang sedang memasukkan beberapa dagangannya ke dalam kantung kertas – karena ada yang beli, dengan tumpukan gorengan yang sudah lengkap tapi dengan jumlah masing - masing yang sudah berkurang.
Lalu di halte, bapak dengan topi golkar sedang menyeruput kopinya dari gelas plastik bekas air mineral dengan satu slot koran yang sudah hilang.
Gue melihat ke kanan dan ke kiri, bermaksud mencari bapak dengan kemeja yang tangannya digulung, tapi nihil.
Ya, gue bangun kesiangan.
Waktu sudah menunjukan pukul 06.47 saat gue sampai di halte, itu artinya gue akan sampai di gerbang sekolah pukul 07.12 – ini hanya perkiraan gue, itu artinya lagi, gue tidak akan bisa masuk kelas.
Gue menghela napas lalu duduk di kursi halte, tidak ada keinginan untuk mencari ojek atau angkutan lainnya yang bisa membawa gue lebih cepat sampai di sekolah.
Jam pelajaran pertama hari ini adalah peminatan Bahasa Jerman – pelajaran paling gue benci, kalaupun gue ada di kelas hari ini, pelajaran ini akan selalu membuat gue tertidur.
Jari gue mengetuk - ngetuk kursi besi yang gue duduki, berpikir.
Pelajaran Bahasa Jerman akan selesai 90 menit dari pukul tujuh, harus kemana gue sepagi ini dengan waktu cuma sejam setengah?
Bapak dengan topi golkar membuang gelas bekas kopinya ke tempat sampah kosong di ujung halte, "ceuk maneh eta nu ngaracunan si Mirna saha?" suara rentanya terdengar, bapak penjual kopi di atas motor terlihat berpikir, "teuing aing mah sih, tapi cigana si Jesika" jawabannya terdengar beberapa menit kemudian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sembilan Satu Satu
De TodoBiar semua tahu adanya, dirimu memang punyaku - Menghitung Hari 2 dari Anda