🍃perihal Barra

20 0 0
                                    

Yhara Rawnie Parveen

Bandung, 7 November 2020

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bandung, 7 November 2020

"Jam sembilan cabut yu" suara Barra yang keluar dari ponsel membuat gue yang masih berkutat dengan kertas - kertas laporan di atas meja, berhenti, menghelas napas sebentar, lalu melihat jam. Setenga sembilan lewat sepuluh.

Yang gue lakukan selanjutnya bukan ke kamar mandi atau berjalan ke arah cermin untuk memakai riasan, melainkan ke arah kasur, melakukan salah satu gerakan yoga, savasana. Alias rebahan.

Percayalah, kalau Barra menjanjikan pukul sembilan, dia akan datang pukul sepuluh lewat 59 menit, atau bahkan lebih no - one knows.

Barra menghubungi gue beberapa menit yang lalu, setelah menghilang sejak pukul tiga sore tadi. Entah apa yang seorang Gerald Janubarra Theosaguna lakukan sejak sore tadi.

Hari ini adalah hari Sabtu, hari dimana seharusnya gue habiskan dengan tidur atau melakukan hal menyenangkan lainnya. Tapi realitanya gue malah berkutat dengan tugas Mata Kuliah Analisis Aerodinamika dan Perstasi terbang, shit.

Salah gue sih, harusnya gue menyelesaikan tugas ini beberapa hari yang lalu - karena deadline dari tugas ini sendiri adalah pukul 10 pagi besok. Fucked up.

Pesan terakhir yang gue kirim ke Barra - sekitar enam jam lalu, adalah sebuah pesan gambar yang memperlihatkan betapa kacaunya meja belajar di hadapan gue - yang sekarang tambah kacau, tanpa ada balasan apapun dari Barra dan berakhir dia yang menghubungi gue lewat suara.

Barra bukan orang yang lembut, semua orang yang mengenal dia tahu itu, gue apalagi. Empat tahun menjalani hubungan yang bisa dibilang sering putus nyambung - ini terjadi sekitar setahun lalu sekarang sudah tidak, membuat gue sangat hapal di luar kepala bagaimana kebiasaan seorang Barra.

Kebiasaan dia yang lebih memilih untuk menyelesaikan permasalahan dengan emosi dan fisik kadang membuat gue muak.

Muak sampai rasanya gue ingin menghilang dari hidup Barra, meninggalkan semua tentang Barra dan kehidupannya.

Tapi pemikiran itu selalu menghilang tanpa aba - aba saat gue menyadari, Barra have noone.

Sama seperti gue.

Gue pernah berpikir, apakah gue dan Barra memang ditakdirkan untuk bersama sampai kami mati?

Karena gue dan dia punya banyak kesamaan yang kadang sampai buat gue mikir, how can?

Ponsel gue berbunyi, 10.48. Melesat dari perkiraan gue sebelumnya, sedikit.

"Southbank mau?" kalimat pertama yang keluar dari mulut Barra pertama kali saat Kawasaki vulcan 900 miliknya berhenti di depan pagar kostan gue, helaan napas kasar terdengar dari mulut gue, "nggak ah, gue lagi banyak tugas dikumpulin besok pagi" kaki gue melangkah melewati jok motor besar milik Barra lalu duduk di boncengannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 06, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sembilan Satu SatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang