🍃salah siapa?

10 0 0
                                    

Yhara Rawnie Parveen

Bandung, 23 November 2016

Memperhatikan setiap objek yang bisa gue lihat adalah salah satu kebiasaan yang paling sering gue lakukan – walaupun sebenarnya itu tidak sopan, tapi gue suka melakukannya.

Di angkutan umum, saat sedang tidak ada yang bisa dikerjakan dan tidak ada seseorang untuk diajak bicara, maka yang biasanya gue lakukan adalah melamun sambil memperhatikan setiap hal yang tertangkap oleh kedua mata gue.

Di jalan, saat kaki sedang melakukan tugasnya untuk melangkah dan tangan sedang mengayun, lalu mata – yang seharusnya gue pakai untuk memperhatikan jalan, tetapi malah lebih banyak gue pakai untuk memperhatikan hal – hal tidak penting.

Di kelas Fisika Terapan, saat seharusnya gue memperhatikan Pak Nyoman dengan spidol hitam di tangan kiri dan buku paket Fisika yang tebalnya sudah sedosa gue di tangan kanan, tapi gue malah memperhatikan Hugo – mencari tahu apa yang dia lakukan saat tidur sampai dia bisa menjawab pertanyaan Pak Nyoman.

Ya, gue memang lebih sering memperhatikan hal – hal tidak penting.

Seperti yang terjadi dua hari lalu di gimnasium tempat biasanya kami melaksanakan pelajaran olahraga, saat itu kami diharuskan melaksanakan pelajaran olahraga secara mandiri – Pak Yuji sedang ada tugas untuk ke luar kota.

Saat yang lain sedang berebut bola basket di tengah lapangan, gue lebih memilih untuk duduk – duduk di tribun sambil sesekali menertawakan kebodohan teman satu kelas gue yang bisa dibilang bodoh di dalam urusan olahraga – kecuali tarik tambang, mereka jagonya.

Karena bosan dengan fokus mata yang kesitu – situ saja, akhirnya mata gue berkeliling ke setiap sudut gimnasium bercat abu – abu itu.

Gue terus mengedarkan pandangan sampai berhenti pada satu titik – pintu selatan gimnasium, ada seorang laki – laki dengan hoodie hitam yang sedang memegang tongkat pel yang tingginya hampir melebihi badannya, sedang menggosok – gosokkan kain pel di bawahnya ke lantai gimnasium dengan asal.

Beberapa menit berlalu, tapi pandangan gue masih betah memperhatikannya.

Sampai satu gerakan membuat gue mengerutkan dahi sambil tersenyum, dia mendorong tongkat pelnya kencang hingga menimbulkan bunyi benda jatuh yang lumayan menyita sedikit atensi kami yang berada di sisi gimnasium yang satunya – walaupun atensi gue dari awal memang sudah fokus ke dia.

Kemudian yang terjadi selanjutnya adalah langkah kakinya yang berjalan keluar dari pintu selatan gimnasium dengan tongkat pel yang dibiarkannya jatuh melintang tepat di depan pintu.

Hari ini, saat gue sedang berjalan dari gerbang utama menuju gedung SMA yang lumayan jauh, gue kembali melihatnya lagi.

Dia dengan hoodie hitamnya lagi, sedang berjalan dari arah parkiran menuju tempat yang sama dengan gue. Ujung mata gue memperhatikannya yang berjalan beberapa langkah di depan gue tapi di sisi jalan yang lain.

Kakinya yang ditutupi vans classic full black dengan warna yang sudah memudar berjalan dengan langkah besar, membuat gue harus menyusulnya dengan sedikit berlari.

Beberapa saat sebelum langkah kakinya memasuki gedung tempat tujuan kami, dia berhenti.

Gue yang berada beberapa langkah dibelakangnya ikut berhenti – entah kenapa, tapi beberapa gerakan yang dibuat dia selanjutnya terasa terekam lambat oleh indra penglihatan gue.

Kepalanya menoleh ke belakang – tepatnya ke tempat gue berdiri, matanya berhenti di mata gue dengan alis yang terangkat sebelah. Mungkin saat itu yang seharusnya gue lakukan adalah berhenti memperhatikan dia kemudian lanjut berjalan, tapi sayangnya gue tidak melakukan itu.

Matanya gue buat terkunci di mata gue.

Lalu yang selanjutnya terjadi adalah, suara nyaring bel yang pusat suaranya berada tepat di depan tempat gue berdiri terdengar, gue memutus kontak mata kami lalu berjalan ke arah gedung, melewati dia yang masih bergeming di tempatnya.

Gue memutuskan menyewa sebuah kamar kost di daerah Jalan Sabang sejak tahun pertama gue di SMA dan memilih tinggal berpisah dengan mama dan papa yang sekarang tinggal di Surabaya.

Tidak ada alasan khusus, gue hanya suka dengan kota ini.

Gue suka dengan suhu dinginnya yang bikin males mandi pagi – pagi.

Gue suka memperhatikan macetnya jalanan Dago saat sore menuju malam.

Gue suka angkringan di ITB yang sering bikin gue gagal diet.

Gue suka semua hal tentang kota ini.

Gue juga suka saat pagi ini giliran dia – sampai sekarang gue belum tahu namanya, yang mengikuti langkah kaki gue memasukin gedung SMA. Dengan langkah santai, gue berjalan memasuki ruang kesenian di ujung lorong lantai satu.

Dan sesuai apa yang gue pikirkan, dia ikut melangkahkan kakinya ke sini – juga dengan langkah kaki sama santainya dengan gue.

Saat memasuki ruang kesenian, semua mata melihat ke arah gue dan dia – yang juga ikut masuk ke dalam ruangan, lalu mengikuti gue ke barisan paling belakang.

Gue menyimpan tas di antara kursi panjang – semacam kursi yang biasa ditemui di gereja, lalu duduk di menempel ke dinding di sebelah kiri.

Dia berada di sela – sela kursi yang gue duduki dengan kursi yang terletak di depannya, berdiri sambil mengarahkan tangannya ke gue, "Barra, kalau lo penasaran" tangannya belum juga turun, sepertinya menunggu gue membalas jabatan tangannya.

Tapi yang gue lakukan selanjutnya bukan menjabat tangannya, "pinjem hp lo dong" interaksi kami saat itu membuat beberapa pasang mata menaruh atensinya ke kami, dan entah kenapa gue tidak peduli.

Barra – akhirnya gue mengetahui namanya, lagi – lagi menaikan sebelah alisnya, "hp?" wajahnya yang semula terlihat sengak berubah kebingungan.

"Iya" gue menjawab pertanyaan Barra dengan suara tegas.

"Satu, lo kasihin hp lo ke gue. Dua, gue nulis nomor gue di kontak hp lo. Tiga, lo bisa ngebuhungin gue. Empat, .." belum sempat gue menyelesaikan kalimat gue pagi itu, saat suara Baraa kembali terdengar, "oke oke, I get it" tangannya dengan cepat mengambil ponsel di saku celana dan memberikannya ke gue.

Tangan gue mengambil ponselnya, menuliskan nomor ponsel berakhiran 20 yang sudah sangat gue hapal, lalu menuliskan "Yhara" sebagai nama kontaknya.

Setelah selesai dengan hal yang gue lakukan, tangan kanan gue mengembalikan ponsel ke pemiliknya yang masih menatap gue sambil tersenyum tapi raut wajahnya masih terlihat kebingungan, sementara tangan kiri gue mengambil tas yang tadi tersender di kursi lalu memakainya lagi.

"Makasih handphone – nya, Barra"

Gue melangkah keluar dari kursi melewaati Barra yang pundaknya gue dorong sedikit sehingga merubah posisinya yang semula berdiri menjadi terduduk di kursi, "lo mau kemana?" saat langkah kaki gue sampai di tengah – tengah ruang kesenian, suaranya kembali terdengar.

"Masuk kelas lah, ini bukan kelas gue" badan gue kembali berbalik ke arahnya sambil tersenyum penuh kemenanngan, sementara Bu Titi – pengajar kesenian untuk siswa kelas 10, sudah berada di ambang pintu saat gue kembali berjalan menuju keluar kelas.

"Pagi bu, maaf saya salah kelas"



























"Pagi bu, maaf saya salah kelas"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Barra, kalau lo penasaran"

Sembilan Satu SatuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang