Bagian 7

23 3 2
                                    

"Aku engga mau pisah terlalu cepat"

🍬🍬🍬

Masa yang dinanti-nantikan pun tiba. Selepas ujian akhir sekolah menengah. Siswa kelas 3 merencanakan tour ke Takengon, Aceh Tengah. Kebanyakan dari mereka mempersiapkan perlengkapan berangkat untuk tour dengan sebaik mungkin. Berbeda dengan Farah, ia masih kebingungan antara memilih mengikuti tour atau tidak. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Tiba-tiba ia teringat akan sahabatnya, Aisyah. Setelah beberapa hari mereka tidak bersama. Dikarenakan berbeda ruang dan waktu ujian yang terpaut jauh, sehingga Farah dan Aisyah tidak bisa berangkat ke sekolah bersama. Bahkan Farah telah lama tidak menghubungi Aisyah karena disibukkan oleh ujian. Entah apa kabar Aisyah. Bagaimana disebut sahabat kalo begini... rutuk Farah dalam hati.

Setelah membeli Chocolatte brownies Farah menuju langsung rumah Aisyah. Rasa rindu yang tidak bisa ditahan lagi. Tidak mempan jika obatnya via suara. Setiap hari mereka menghabiskan waktu bersama, walau sebentar.

Farah memarkirkan mobilnya di halaman rumah Aisyah. Diketuknya pintu rumah tersebut tidak lupa diiringi salam. Sampai pada ketukan ketiga pintu pun terbuka dan Aisyah muncul dibaliknya disertai salam balasan.

"Aisyah..." senyuman Farah mengembang.

"Farah!" Pekik Aisyah setengah kaget, "ayo masuk!" Ajaknya kemudian.

"Nih aku bawain brownies kesukaan kamu."

"Makasii banyak Faraah..."

"Sama-sama"

"Apa kabar kamu, Syah?" Farah menghempaskan punggungnya di sofa.

"Baik, Alhamdulillah. Kamu?"

" Ya, seperti yang kamu lihat. Masih selalu cantik."

"Penyakit pedenya engga hilang-hilang!"

" Haha... kangeenn... "

" Ya, aku juga kangen..."

"Udah lama kita engga kumpul bareng."

"Yah mau gimana lagi. Ujian."

"Kamu mana mau diajak main, sok sibuk"

"Emang sibuk, lagian akhir-akhir ini ummiku sering sakit."

"Aku baru tahu. Mana ummi kamu?"

"Lagi keluar. Udah aku bilangin jangan keluar dulu, ya gitulah..."

"Sabar ya!"

"In sha Allah!"

"Aisyah kamu jadi kan masuk kedokteran?"

"In sha Allah jadi. Aku engga bisa ke Turki bareng kamu. Aku harus jagain ummi"

"Engga apa-apa. Aku kira kamu engga kuliah. Di rumah aja, nungguin orang datang ngelamar, terus nikah"

"Apaan sih!"

"Biasanya orang kayak kamu tuh cepat nikahnya. Diam-diam taunya udah nikah aja"

Aisyah cemberut, "kenapa malah ngomongin soal nikah sih?"

"Aku engga kebayang..."

"Farah udaah..."

"Iya-iya"

"Aku ke dapur mau ambiliin minum sama potongin nih kue."

"Aku mau es jeruk!"

"Emang ini kafe"

Aisyah mengambil pisau pemotong kue. Brownies tersebut dipotongnya dengan rapi. Perkataan Farah masih terngiang. Kepalanya langsung teringat sesosok tampan Ahmed. Membangun bunga yang tanpa sadar telah layu dan terlupakan. Mekaran itu seakan tumbuh dengan cepat meledakkan sari-sarinya. Seandainya bisa untuk memilih, ia hanya ingin menikah dengan Ahmed. Kaum Adam yang baginya bak pualam berpendar cahaya bulan. Mata Aisyah yang bening walau tidak begitu indah seperti Farah tampak bercahaya dengan air wudhu yang selalu membasahi mengeluarkan butiran hujan yang telah lama dibendung. Membentuk dua sungai kecil di pipi mulus kemerahannya. Kembali ia tersadar dengan kemustahilan yang begitu nyata. Aisyah tidak mungkin mengkhianati sahabatnya walau pernah terpikir untuk egois. Ia buang itu jauh-jauh. Kemungkinan kedua lebih mustahil lagi. Mustahil ia meminta Ahmed untuk menikahkannya.

Kronologi SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang