Bagian 8

10 2 0
                                    

Ya aku sangat mengenalnya

🍬🍬🍬

Jika dihitung waktunya sudah beberapa bulan Farah nyaman dengan dirinya yang sekarang. Ia melaksanakan shalat. Menutup aurat walau belum begitu sempurna, setidaknya ketika keluar dari rumah ditutup kepalanya. Tetapi entah mengapa seperti ada yang mengganjal di hatinya. Ada benang kusut yang tidak ditemukan ujungnya. Seperti sekarang Farah di dalam kamarnya berbaring menyamping sambil menatap layar ponselnya. Seruan untuk menunaikan ibadah sudah berkumandang dua puluh menit yang lalu, tapi Farah enggan beranjak dari tempat tidur empuknya. Seperti ada pengikat. Bukan hanya itu penyebabnya. Hatinya sedang gusar dan kacau.

Ditatap lagi layar ponselnya terpampang nama Ahmed di sana. Farah ragu untuk menekan ikon panggilan. Ia terus memutar jempolnya. Ia tampak berpikir sejenak. Lebih baik ditunaikan dulu shalatnya. Supaya hatinya tentram. Bukankah Tuhannya yang memberikan ketenangan bagi jiwa yang meminta? Namun, bagaimana ada ketenangan bagi yang menjauh? Ah, mengapa pula Farah harus meragu.

Setelah menunaikan ibadahnya. Farah duduk termenung. Entah apa yang dipikirkan olehnya.

Ponsel Farah berdering. Dengan semangat ia raih ponselnya yang ada di atas nakas. Mungkin Ahmed yang meneleponnya. Bisa jadi kan?

" Halo! Assalamualaikum!" Wajah Farah terlihat semringah.

"Wa'alaikumussalam." Bukan suaraAhmed yang terdengar.

"Aisyah..." Farah merengut kecewa.

"Kamu dimana?"

"Lagi di rumah nih."

"Besok ada waktu?"

"Ada banyak, mau berapa?" Farah terkekeh.

Terdengar suara tertawa di seberang sana. "Mau jalan-jalan besok"

"Boleh besok ya!" Farah terlihat lebih bersemangat.

Farah meletakkan kembali ponsel. Mukena dan sajadah dirapikan. Ada beberapa berkas yang belum tuntas dikerjakan. Dirapikan meja belajarnya. Farah berencana untuk mendaftarkan kuliah di beberapa tempat. Ia masih belum tahu universitas mana yang akan ditujunya. Universitas mana yang mungkin menerima, pasalnya Farah bukan siswa yang sangat pintar. Jauh berbeda dengan Aisyah, yang lebih baik dari segala hal. Bahkan Aisyah sudah diterima di universitas terbaik di kota, jalur undangan malah. Ah, beruntung sekali Aisyah diterima pada jurusan kedokteran.

Mata Farah masih berkutat pada layar laptop. Mencari beberapa data yang dibutuhkan. Tangan kanannya mengerakkan mouse dan telunjuknya men-scroll data.

Tok Tok Tok "Sayang, turun ke bawah abu Umar datang. Sekeluarga." suara Sarah terdengar lembut memanggil putri tercintanya.

Tidak ada respon dari dalam. Sarah memutar kenop pintu kamar putrinya. "Nak..." Sarah masuk ke dalam.

Farah menoleh. Menyengir lebar. "Ummi"

Sarah mengulangi perkataannya di awal tadi.

"Sudah lama abu gak ke sini?"

"Benar. Kemarin abu sibuk mengurus kepindahannya ke sini. Alhamdulillah sekarang sudah beres dan baru sempat kemari."

Farah manggut-manggut. Ia merapikan kembali meja belajar yang dipenuhi berkas supaya tidak berceceran.

"Segera turun ya, nak." Sarah mengelus putrinya dan dicium singkat di puncak kepala.

"Siap!"

Farah menutup kepalanya dengan hijab instan dan bergegas menyusul umminya yang sudah keluar duluan. Dari tangga suara gelak tawa sudah terdengar dari ruang tamu yang di pisah oleh ruang keluarga. Namun, Farah berbelok ke dapur. Mengambil nampan berisi makanan yang disuruh Sarah tadi untuk dibawa ke depan.

Kronologi SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang