Bagian 10

10 1 4
                                    

"Tolong jaga Farah. Nitip dia sama kamu, Ahmed."

🍬🍬🍬

Ya, skenario-Nya tak akan pernah salah. Bidikan-Nya selalu tepat sasaran. Tidak bergeser sedikit pun atau masuk ke kantung yang salah.

Kepala Ahmed menengadah ke atas. Terdapat jendela di langit-langit kamar, menampakkan berjuta taburan gemintang. Kelap-kelip. Beserta percak gumpalan awan kelabu. Ia selalu suka dengan kamarnya yang di sini. Setiap malam, ketika hendak tidur dengan kondisi mati lampu, dari jendela bening itu menampakkan jelas gemerlapan malam. Ah, indahnya.

Satu detik. Dua detik. Wajah jelita sang bidadarinya seakan terukir diantara awan-awan malam. Sosok anggun itu tersenyum. Tangan dengan jemari lentiknya melambai-lambai. Seperti memanggilnya. Tak percaya. Ia mengusap matanya lalu dibuka kembali dengan lebar. Tidak bisa dipercaya seluet anggun itu masih membayang di sana. Dua sudut bibir Ahmed terangkat membentuk seutas senyuman.

Terdiam lantas membisiki nama Tuhannya. Itu tidak benar.

Suara ketukan pintu, kemudian terbuka. Umar memasuki kamar putranya dan duduk di sampingnya. "Gimana persiapan kamu, bang?"

"Alhamdulillah lancar, Bu. Tinggal packing barang aja." Ahmed menunjuk dus dan koper yang sudah terisi setengah.

"Masih dua Minggu lagi berangkatnya, nanti-nanti bisa kamu lanjutkan packing-nya. Bagaimana persiapan berkasnya?"

"Aman, abu."

"Begini, insyaallah Farah akan kuliah di Turki juga, dan universitas yang sama."

Hening. Ahmed terdiam. Mengapa harus berhubungan dengan Farah? Harus satu kampus. Kemarin mereka satu sekolah, sekelas bahkan. Melihat wajah Farah, ia sudah muak. Tidak suka dengan sikapnya. Ah, segala hal tentang Farah tak ada yang menarik. Heran, mengapa Aisyah bisa bersahabat dekat dengan Farah. Kemana-mana selalu berdua. Dimana ada Aisyah di situ juga selalu dilihat Farah di sampingnya. Sudahlah, jangan terlalu banyak berhipotesis dulu. Ahmed serius melihat ka arah Abunya.

"Itu yang mau abu bicarakan. Farah di sana sendirian. Gak ada siapapun yang dikenalnya. Berbeda dengan kamu yang memang lahir sudah di sana. Besar di sana. Kampung halamanmu." Fathan memperbaiki letak kaca mata.

Ahmed menegakkan badannya. Pandangannya lurus ke depan. Mulai paham arah pembicaraan Umar.

"Keluarga Abi Fathan dan kita sudah sangat dekat. Sudah seperti keluarga. Farah sudah abu anggap seperti anak perempuan sendiri. Secara tidak langsung kamu itu Abangnya Farah. Karena kamu lebih tua beberapa bulan. Nanti di sana, hanya kamu orang yang dia kenal." Abu menatap wajah putranya lamat-lamat. Sudah berbulan-bulan mereka tidak bertemu, namun kembali dipisahkan. Tak mengapa ini semua demi cita dan impian si anak, ia harus rela. Bukankah anak bujang memang harus mandiri?

"Walau Abi Fathan tidak menyampaikan langsung padamu, boleh abu minta tolong?"

Ahmed menatap wajah sang ayah lekat. Alis tebalnya berkerut, sedikit tersambung. "Iya, Bu?"

"Tolong jaga Farah. Abu nitip dia sama kamu. Tempramennya memang keras, tapi dia baik."

Makin berkerut kening Ahmed. Heran dengan pemikiran sang ayah.

"Tolong lihat-lihat aja dia sesekali. Tidak harus dua puluh empat jam. Hanya sesekali. Tetap jaga jarak, kerana mau bagaimana pun kalian bukan muhrim."

Ahmed paham apa yang dikatakan oleh sang ayah. Walau tak bisa dipungkiri pandangannya terhadap Farah tetap sama. Namun, ia akan berusaha membantu Farah sebisanya. Paham jika bukan padanya, siapa lagi yang bisa diminta tolong?

Kronologi SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang