Bagian 9

11 2 0
                                    

"Haruskah diteruskan? Ataukah dilupakan dan hanya dikenang? Dipendam?"

🍬🍬🍬

Rintikan hujan. Tetesannya pelan terjatuh. Terbentuk fatamorgana berwarna di daerah timur dikarenakan pantulan matahari dari barat. Indah pasti. Namun di sini hujan yang menyisakan kesenduan kelabu. Farah membiarkan rambut coklat terangnya melambai di terpa semilir angin menghembuskan kesejukan. Percikan dengan butiran halus menerpa wajah jelita itu. Kelopak bunga yang terlihat sumringah karena tuhan mengabulkan permohonannya. Hujan yang dirindukan oleh bunga dan setiap tumbuhan. Sebagai nutrisi dan suplemen. Mengapa wahai bunga? Bukankah ummi selalu memberimu pupuk? Hidung Farah menghirup udara. Wangian rumput yang dibasahi hujan memenuhi rongga indra penciumannya. Disapunya rumput jepang yang selalu dirawat dengan baik oleh umminya, Sarah. Butiran-butiran embun pagi menyapa setiap celah jemarinya.

Sebentar lagi bagian bumi yang ini akan ditinggalkan menuju belahan benua lain nan jauh di sana. Seperti apa di sana? Orangnya baikkah? Pada siapa ia meminta jika diliputi kesulitan? Akankah ia bertahan dengan keimanannya yang sekarang? Mampukah ia bertahan seorang diri? Melupakan cintanya? Persahabatannya? Kerinduan akan tanah air? Bagaimana jika ini yang terakhir? Bukankah kematian adalah kepastian?

Ah sudahlah. Begitu banyak kekhawatiran pada diri makhluk fana ini. Setiap jengkal kaki melangkah bukankah sudah tercatat di sana? Mengapa harus ragu? Sedangkan Tuhan tahu yang terbaik belum tentu manusia menerima itu.

Sebuah becak dengan motor tua mendekati pagar rumah Farah. Siapa itu? Farah bergegas memasuki rumah. Mencari kerudung yang bisa dipakai. Siapa gerangan pagi-pagi buta seperti ini.

"Assalamualaikum..." Lamat-lamat terdengar orang memberi salam.

Tingtong... Tingtong...

Farah bergegas ke pintu utama. Hijab instan segera dikenakan seraya berjalan.  "Wa'alaikumussalam."

Ternyata yang di depan pintu Aisyah dan Umminya, Da Jamlah.

"Farah!" Senyum Aisyah mengembang seperti biasa.

Farah dan Aisyah berpelukan sejenak. "Miwa Jamlah," Farah menyalami tangan Umminya Aisyah.

Farah mempersilakan mereka masuk. "Lon heuy Ummi dilee. (Saya panggil ummi dulu)" Ia berlarian menuju kamar orang tuanya. Mereka sudah bangun dari tadi, mungkin masih bermesraan selayaknya pengantin baru. Melepas rindu dan resah.

Panggilan Farah disertai ketukan membuyarkan kemesraan dua seloji yang umurnya sudah tidak muda lagi. "Iya nak tunggu sebentar." Terdengar sahutan dari dalam. Sarah bergegas menjumpai tamu istimewanya. Sudah lama mereka tidak bersua. Kesibukan terus menjadi alasan. Pekerjaan, kegiatan-kegiatan organisasi dan menjadi relawan di berbagai negara. Belum lagi menjadi pengisi acara dan meeting bersama pimpinan pondok pesantren dibawah binaan Sarah.

"Assalamualaikum. Waah Da Jamlah sudah lama kita tidak berkumpul seperti ini," dua orang wanita itu bersalaman dan cipika-cipiki. Sarah memanggil Ramlah da yang artinya kakak dalam bahasa Aceh. Mereka sudah sangat dekat. Keluarga mereka lebih tepatnya. Bermula dari aktivitas berbasis keagamaan yang diketuai oleh Jamlah dan Sarah masih menjadi pesertanya kala itu. Plot twist sekali memang, ternyata Nazar—almarhum suami Ramlah—pembimbing atau guru spiritualnya Fathan. Ceritanya masih panjang bila ingin dijabarkan. Oleh sebab itu jelaslah pemicu kedekatan antara Farah dan Aisyah. Mulai bisa merangkak bersama kemudian berjalan. Belajar sepeda. Kesana-kemari selalu bersama. Saling membutuhkan. Ah, betapa indahnya persahabatan.

Akankah mereka terus bersama? Impossible. Masa terus berganti. Semesta akan memisahkan mereka. Sesuai dengan skenario yang ditulis oleh Sang Sutradara di tempat tertinggi, Arasy.

Kronologi SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang