Asha baru saja sampai di kelasnya. Ia melirik kanan dan kiri memastikan tidak ada Bian di kelasnya, baru ia bisa duduk di kelasnya dengan tenang. Berita baik, Asha membawa seragam Bian dalam keadaan kering dan wangi. Namun masalahnya hanya satu, cara mengembalikannya. Secara, Bian adalah senior di tempat Anggarnya. Kalau dia bersikap tidak sopan, habislah dia. Jangan sampai Bian mengungkit kejadian kemarin sore.
"Widih, pagi banget. Lo biasa dateng ke sekolah jam segini?" tanya Nidya yang tiba-tiba datang menghampirinya.
"Ngg-nggak biasa sih, tapi kayanya gue tadi berangkat kepagian." alasan Asha. Nidya mengangguk sebagai respon sambil meletakkan tas di bangkunya.
Nidya melirik paper bag yang Asha bawa dan diletakkan di bawah mejanya.
"Apaan tuh, Sha?" tanya Nidya.
"Oh, ini, seragam Bian. Hehe." kata Asha. Nidya membuka isi paper bag tersebut.
"Buset wangi banget? Lo tuangin berapa bungkus deterjen?" tanya Nidya usai membuka paper bag tersebut. Hanya membuka, belum mencium aromanya dari dekat.
"Y-ya dia mintanya harus wangi. Y-yaudah gue banyakin deterjennya. Gue kaga mau dah salah di mata dia lagi. Capek." ujar Asha.
"Kenapa lo ga kasihin bajunya langsung ke dia? Dia barusan dateng tadi searah sama gue." mata Asha mendadak membulat dan langsung merebut paper bag tersebut dari Nidya.
"Eh kenapa?" Asha nampak memohon pada Nidya.
"Please, temenin gue ke Bian ya? Gue takut. Please anterin gue." pinta Asha.
"Kenapa lo takut sama Bian?" tanya Nidya.
"Ceritanya panjang, lo temenin gue aja dulu ke Bian buat balikin ini, oke? Yuk." Asha menggandeng tangan Nidya dan mengajaknya ke kelas Bian.
Saat akan sampai ke kelas Bian, dari jauh saja sudah nampak jika Bian sedang berbicara dengan Lula di depan kelasnya. Asha langsung menyerahkan paper bag berisi seragam olahraga Bian pada Nidya.
"Lah, kenapa dikasihin ke gue?" tanya Nidya.
"A-anu, tolong kasihin ya. Tuh, orangnya di depan kelas kok. Gue tungguin disini. Oke?" pinta Asha lagi.
"Tapi–"
"Makasih, Nidya!"
Asha menunggu Nidya selesai memberikan paper bag tersebut di balik dinding perpustakaan yang kebetulan dekat dengan kelas Bian. Saat ia sedang melamun karena Nidya lama sekali, Gading lewat di depannya usai memarkir sepeda motornya.
"Sha? Lo ngapain disini pagi-pagi begini?" tanya Gading.
"Eh, gapapa kok. Lo barusan sampe?" tanya Asha balik.
"Ya.. iya. Lo nungguin siapa disini?" tanya Gading.
"Gue.. nungguin Nidya. Lo duluan aja." ucap Asha.
"Gapapa, gue temenin lo nungguin Nidya. Gue juga ga lagi buru-buru kok." ujar Gading.
Seketika hening sampai beberapa menit.
"Gimana kemarin?" tanya Asha memecah keheningan.
"Kemarin?" Asha mengangguk.
"Kan kemarin lo ditelponin temen lo berkali-kali. Temen-temen lo marah ya? Maafin nyokap ya. Nyokap orangnya gitu emang. Suka ngobrol yang lamaaa banget." kata Asha.
Gading terkekeh, "Gapapa, yang lain pada ngertiin gue kok. Ya paling gue digebuk pake stik drum aja." raut wajah Asha mendadak syok.
"Lo gapapa?" tanya Asha panik. Gading tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream, Love, Power, and Walls [END]
Фанфик[CERITA INI HANYA FIKSI/TIDAK NYATA] Judul asli: If Only Started: 24 Januari 2021