"Kamu kan yang bikin Gading balik lagi kaya dulu?"
Suara pria paruh baya tersebut menggema sepanjang lorong sekolah. Nampak Bian yang duduk di tempat duduk depan kelasnya dan dirundung oleh pria paruh baya tersebut. Dan nampaknya, pria tersebut didampingi oleh istrinya. Namun istrinya nampak diam saja.
"Gak." ucap Bian singkat.
Pria tersebut mendecih, nampak sedang menahan-nahan emosi. "Gading ga pulang lagi kemarin. Gara-gara siapa lagi kalo ga kamu!" ujarnya sambil mendorong pundak Bian agak keras.
"Bian!"
Tiba-tiba terdengar teriakan Gading dari ujung lorong dan sedang berlari mendekat ke arah tiga orang yang sedang 'bertemu' tersebut.
"Gading.." Mama Gading langsung berlari memeluk Gading begitu ia sampai di dekatnya.
"Tanya aja sama orangnya langsung. Kenapa jadi tanya ke gue?" ujar Bian kesal.
"Papa tau dia bakal bohong! Karena selama ini, kamu yang bikin dia sering kabur dari rumah!" pekik pria tersebut.
Bian berdiri dan menggigit bibirnya karena kesal sambil menatap kedua bola mata pria paruh baya tersebut dengan tajam, "I'm not your son anymore."
Plak!
"Om!"
"Mas!" istri pria paruh baya tersebut, alias Mama Gading menggeret tangannya agar membuat jarak dengan Bian.
"Dia harus dikasih pelajaran!" ujar pria paruh baya tersebut.
"Iya tapi jangan ditampar juga! Kamu juga gatau bener apa salahnya!" ujar Mama Gading.
"Bian.." panggil Gading lirih.
Pria paruh baya tersebut menoleh ke arah Gading yang memanggilnya.
"Gading.." pria paruh baya tersebut menghampirinya, namun Gading menghindarinya. Gading malah menghampiri Bian yang sedang kesakitan.
"Lo gapapa kan, Bi?" tanya Gading pelan sambil memegang pundak Bian. Namun Bian mengenyahkannya.
"Bilang ke bokap lo, gue bukan alasan lo kabur dari rumah. Gue udah muak ditampar sama bokap lo terus. Pipi gue diciptain bukan buat nerima tamparan dari dia tiap bulan." Bian bangkit kemudian pergi dari lorong tersebut.
Ketika ia baru saja keluar dari lorong tersebut, ia bertemu dengan Gibran. Entah mengapa Gibran bisa berada di persimpangan lorong sekolahnya. Gibran langsung menarik tangan Bian dan menyuruhnya duduk. Baru saja Gibran melihat wajah adiknya, nampak bekas tamparan yang terlihat masih baru. Pipi Bian berwarna merah akibat tamparan dari pria paruh baya tersebut.
"Pipi lo kenapa begini?!" tanya Gibran panik.
"Tau, bokap lo tuh. Au dah, langsung pulang aja." gerutu Bian.
Mata Gibran membulat seketika, "Dia beneran disini lagi?!" tanya Gibran.
"Ck, berisik. Langsung pulang aja." kata Bian ketus dan bangkit dari kursinya.
Baru saja mereka akan meninggalkan tempat tersebut, mereka berdua hampir saja menabrak Gading yang sedang berlari ke arah parkiran sepeda motor dan diikuti wanita paruh baya, yakni ibunya sendiri. Tak lama, pria paruh baya yang tidak diinginkan kehadirannya bertemu lagi dengan Bian. Ditambah Gibran.
"Tanggung jawab!" kata Gibran tegas.
Pria paruh baya tersebut hanya menolehnya, "Eh, Gibran–"
"Gausah panggil-panggil lagi. Lo apain Bian?" tanya Gibran dengan penuh emosi.
"Ya papa cuman kasih pelajaran aja ke dia–"
"Perlu banget ya pake nampar dia seenaknya?" tanya Gibran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream, Love, Power, and Walls [END]
Fanfic[CERITA INI HANYA FIKSI/TIDAK NYATA] Judul asli: If Only Started: 24 Januari 2021