Chapter 31

331 46 13
                                    

Usai kejadian mengenaskan yang menimpa Bian serta Asha, akhirnya segala acara per camping an malam itu dibubarkan. Para pengunjung dianjurkan bergerak cepat untuk segera meninggalkan tempat untuk mengantisipasi menghindari kejadian yang tidak diinginkan. Sementara Bian dibawa ke rumah sakit dengan didampingi Juan. Dino dan Harish tetap berada di tempat untuk membersihkan tempat camping dan mengemasi barang-barang mereka untuk segera pergi dari sana. Setelah selesai, mereka berdua menyusul ke rumah sakit tempat Bian dirujuk.

"Keluarga Bian?"

"Saya pak!" Juan langsung berdiri mendekati dokter.

Juan diajak dokter tersebut untuk bicara di dalam ruangannya karena permasalahan yang ada di badan Bian sangatlah serius. Terdapat banyak luka tusukan di sekujur tubuhnya, yakni tangan, kaki, perut, rusuk, dan lehernya. Kepalanya juga sempat terbentur batu besar yang ada di sekelilingnya. Karena luka-luka yang ia dapat, Bian mengalami koma.

"Beruntung saudara cepat ditemukan. Karena luka tusukan di leher dan rusuknya sangat berbahaya jika tidak segera ditangani." ujar dokter.

"A–pa ada kemungkinan Bian buat bangun dari komanya, dok?" tanya Juan.

"Saya dan perawat yang lain hanya dapat berdoa untuk kesembuhan saudara Bian. Ia masih hidup saja kami tidak menyangka. Semoga Yang Maha Kuasa memberikan kesembuhan untuk saudara Bian." ujar dokter.

Ketika Juan sedang berbicara dengan dokter yang menangani Bian, Dino dan Harish pun tiba di rumah sakit usai mengemas barang bawaan camping. Keringat tak henti-hentinya bercucuran bercampur air mata, napas mereka terengah-engah sampai bicara saja tidak mampu.

Mereka menunggu Juan keluar dari ruangan dokter di ruang tunggu yang kala itu sedang sepi. Hanya mereka berdua. Mereka sama-sama menyesal mengapa tadi mereka tidak bangun bersama dengan yang lainnya. Mereka tentu tidak menyangka kegiatan yang mereka nanti-nanti akan membawa malapetaka seperti ini.

"Bian gimana, bang?" tanya Harish.

Juan hanya keluar dengan tatapan kosong. Rasanya seperti separuh jiwanya pergi. Untuk berdiri saja rasanya tidak mampu, bernapas rasanya tidak pantas karena satu orang yang ia anggap adiknya sendiri terluka, sedangkan adik kandungnya sendiri diculik hilang entah kemana.

"Kalian.. tolong hubungin keluarga Bian. Gue mau ke kantor polisi." ucapnya.

"Kenapa–"

"Gue tau wajah pelaku. Gue tau siapa orang yang ngelakuin percobaan pembunuhan ke Bian. Gue bakal lapor ke polisi sekarang. Yang penting, lo kabarin dulu nyokap Bian." ujarnya. Harish dan Dino hanya mengangguk sambil melihat punggung Juan lama-kelamaan menghilang dari pandangan mereka.

Sesuai pesan Juan, Harish dan Dino menghubungi Ibu Bian. Meskipun kesannya tidak sopan menelpon sepagi itu, tapi akan lebih baik jika cepat diberi kabar. Mereka tahu akan bagaimana reaksi Ibu Bian, ketika beliau menangis, Harish terus berbicara untuk mengatakan jangan panik dan jangan pergi kemana-mana sebelum matahari terbit. Dan Harish juga mengatakan akan menjemput beliau dikala matahari telah terbit. Sedangkan Juan mengabarkan jika adiknya hilang kepada orang tuanya sendiri. Sebenarnya ia takut. Namun, ini semua adalah tanggung jawabnya. Jadi, ia harus terima apapun konsekuensinya nanti. Jadi sebelum tiba di kantor polisi, Juan lebih dulu datang ke rumah dan bicara kepada Ibunya.

Suasana rumah kala itu yang sedang sepi makin mencekam. Rumah yang kadang nampak seperti biasa menjadi rumah yang penuh tangisan. Seketika itu juga, Ayahnya ditelepon untuk segera kembali ke rumah karena kasus kehilangan Asha yang terjadi secara tiba-tiba.

"Tapi hilangnya saudara Asha belum mencapai 1x24 jam. Kita harus menunggu dulu."

Mendengar ucapan polisi, emosi Juan tentunya makin memuncak. "Pak, adik saya ga mungkin kemana-mana! Tujuan dia itu ke toilet dan temen saya lihat itu! Bapak kira adik saya diculik buat hidup enak?! Kalo adik saya disiksa gimana?!" protesnya.

Dream, Love, Power, and Walls [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang