Hari itu, Bian dan Harish berlatih seperti biasa. Datang ke tempat berlatih, pemanasan, berlatih, dan pulang. Bedanya hanya pada waktu berlatih karena hari ini lebih lama daripada biasanya. Karena matahari akan tenggelam, mereka berdua bergegas untuk pulang. Rumah mereka berada pada perumahan yang sama hanya berbeda blok saja. Alhasil mereka berpencar ketika sampai di persimpangan jalan nantinya.
"Lo gaada masalah lagi kan sama Si Gading?" tanya Harish.
"Gaada." jawab Bian seadanya.
"Gila tuh orang. Kadang malaikat kadang iblis. Heran. Lagian gimana bisa dia tau kalo lo ikutan lomba Anggar? Aneh." ucap Harish masih dengan langkah yang sama dengan Bian.
"Kayanya dia ikut lomba band di festivalnya." gumam Bian.
Harish menepuk pundak Bian secara tiba-tiba membuat Bian terkejut, "Semangat bro. Gue yakin lo bisa."
"SEMANGAT SEMANGAT, JANTUNGAN GUE YANG ADA." ujar Bian sambil menepuk bahu Harish lebih kencang.
Tibalah mereka di persimpangan jalan. Bian tetap lurus sedangkan Harish belok kanan menuju rumahnya. Seperti biasa, ucapan selamat tinggal dari Harish saja. Bian boro-boro.
Hari ini Bian sangat lelah. Ia berharap ketika sampai rumah sudah ada keluarganya di rumah, terlebih lagi ibunya. Akan lebih sempurna lagi kalau sudah terhidang makanan di meja. Rasanya semua lelahnya hari ini akan hilang begitu saja. Dan begitu dirinya membuka pintu rumah, tidak seperti yang diharapkan.
Makanan yang masih hangat memang sudah terhidang di atas meja makan dan semua ini lauk kesukaannya dan Gibran. Tapi di rumahnya tidak ada tanda-tanda kehidupan. Kamar ibunya pun juga terkunci rapat-rapat. Tidak seperti biasanya kamar ibunya terkunci seperti ini kalau hanya sekedar mengirimkan pesanan makanan untuk hajatan orang.
Karena dirasa haus sekali, akhirnya Bian meletakkan tasnya ke sembarang tempat, mengambil gelas, dan mengisinya dengan air dingin dari kulkas. Dinding kulkas yang semula kosong kini terhiasi oleh sebuah sticky notes berwarna merah muda. Tulisan di sticky notes ini mirip sekali dengan tulisan ibunya.
Dari: Mama
Untuk: Gibran Bianiya ini surat dari mama karena hape mama rusak jadi gabisa hubungin kalian lewat whatsapp. mama pergi ke rumah eyang, jagain eyang disana. tante devi lagi ada keperluan sama suaminya, jadi mama yang jagain eyang. mama disini tiga hari aja kok. di dapur udah pada banyak bahan masakan, jadi masak sendiri di rumah yaaa sayang-sayangnya mamaa 💗
Bian menghela napas kasar dan duduk di bangku meja makan. Tiba-tiba hilang saja seleranya untuk makan sesudah membaca surat tersebut. Bahkan di bangku meja makan tersebut Bian hampir tertidur disitu karena saking lelah dan tidak berseleranya. Namun kantuknya seketika hilang ketika pagar rumahnya diketuk oleh seseorang.
"Siapa?" tanya Bian dari balik pagar.
"Gue Melvy, Kak!"
Melvy adalah tetangga Bian. Bisa dibilang, teman masa kecilnya juga. Tetapi usia Melvy lebih muda darinya dua tahun. Apa itu jaim? Melvy bisa menepis semua perasaan jaim ketika bersama orang yang ia rasa dekat dengannya sejak lama termasuk Bian. Tetapi kalau sudah begini, Bian lelah juga. Biasanya kalau Melvy memanggil begini antara ingin mengajaknya pergi atau memberikan makanan yang dimasak ibunya. Yang kali ini Bian berharap Melvy memberikan masakan ibunya saja daripada ia harus menuruti kemauan Melvy yang dilakukannya terpaksa karena merasa tidak enak pada Ibu Melvy.
"Ngapain kesini?" tanya Bian.
"Tadi mama masak banyak trus kelebihan. Jadi, mama suruh kasihin ke kakak deh." ucap Melvy sambil memberikan satu rantang berisi sayur lengkap dengan lauk pauknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream, Love, Power, and Walls [END]
Фанфик[CERITA INI HANYA FIKSI/TIDAK NYATA] Judul asli: If Only Started: 24 Januari 2021