"Buruan di makan, keburu dingin ntar gaenak." kata Gibran.
Mereka sudah tiba di salah satu restoran cepat saji untuk makan siang sesuai janji Gibran sebelumnya. Kali ini mereka pergi ke restoran cepat saji pilihan Bian agar mood Bian kembali normal. Saat Bian sedang asyik-asyiknya makan, Gibran memulai sebuah pembicaraan serius.
"Lo nyaman sekolah disitu?" tanya Gibran.
"Kenapa emangnya?" tanya Bian balik.
Gibran menghela napas, "Jujur sama gue. Dia selama ini sering bikin lo kaya gini?" tanya Gibran.
Dalam hati kecil Bian, ia sangat ingin bercerita banyak pada Gibran tentang apa yang ia rasakan dan perlakuan apa yang ia dapatkan dari 'ayahnya' ini. Namun ia merasa, ia akan tetap bersikukuh untuk memendam saja apa yang ia rasakan. Karena Bian rasa, kakak laki-lakinya ini sudah menanggung beban yang terlalu berat untuk orang seusianya. Jadi ia tidak mau membebani pikiran Gibran lebih lagi.
"Apaan sih? Gausah ngomongin dia lagi. Katanya lo suruh gue makan." kata Bian kesal.
"Lo jujur sama gue, kali ini aja. Gue ga akan bertindak lebih kalo lo mau cerita sama gue tentang apa yang pernah dia perbuat sama lo." ujar Gibran.
Dan akhirnya, Bian memberanikan diri untuk berbicara.
Penyiksaan pertama yang Bian dapatkan dari 'ayahnya' adalah ketika Bian masih duduk di bangku kelas satu sekolah dasar. Waktu itu, kebetulan Gading dan Bian mendaftar di satu sekolah yang sama. Ketika Gading mencoba mendekati Bian, Bian mengabaikan dan meninggalkan Gading begitu saja dan membuat Gading menangis. Kasus tersebut sempat ramai karena 'ayahnya' ini memukul Bian di depan orang banyak ketika ibunya sedang mendaftarkan Bian. Alhasil, Gading gagal bersekolah di satu tempat yang sama dengan Bian.
Yang kedua, ia dapatkan kembali ketika baru saja lulus sekolah dasar dan akan melanjutkan ke sekolah menengah pertama. Bian kembali lagi bertemu dengan Gading secara tidak sengaja di sebuah taman bermain yang lumayan luas wilayahnya. Gading berulang kali meminta maaf lagi pada Bian, dan lagi-lagi Bian mengabaikannya. Sebenarnya Gading tak terlalu sakit hati, sampai Bian mengucapkan sebuah kalimat yang membuat Gading benar-benar membenci ayah tirinya sendiri. Dan ucapan ini mustahil untuk diucapkan anak seusia Bian. Dari kejadian tersebut, Gading tidak kembali ke rumah melainkan pergi ke rumah neneknya tanpa izin. Semua orang panik mencari Gading kecuali Bian tentunya. Dan ketika baru bertemu selama menghilang, Gading keceplosan di awal katanya, "Bian bilang–" dan dari situlah penyiksaan terjadi. Lagi-lagi di lerai oleh orang-orang yang berjalan di sekitarnya.
Yang ketiga, ia dapatkan lagi ketika Bian baru saja masuk ke sekolah menengah atas. Dan kali ini, Bian benar-benar berada di satu sekolah yang sama dengannya. Bedanya, Gading tidak lagi meminta maaf atau mengucapkan apapun lagi pada Bian. Let it flow. Pada semester kedua, beredar rumor jika Gading dan Bian sebenarnya kakak beradik, namun ditepis jauh oleh Bian. Nampak makin mustahil ketika Bian dan Gading sering sekali bertengkar dan keluar masuk ruang BK. Kala itu, Ibu Bian tidak bisa hadir dan Gibran sedang ujian di kampusnya, jadilah Bian tidak didampingi siapa-siapa. Sedangkan Gading? Tentu ia didampingi oleh kedua orangtuanya. Lengkap. Dan lagi-lagi dari masalah tersebut, Bian mendapatkannya lagi.
Dan yang keempat, baru ia dapatkan tadi siang.
Gibran sampai tidak bisa menahan air matanya agar tidak jatuh. Bagaimana bisa Bian bisa menahan beban pikiran sebanyak itu tanpa cerita kepada siapapun? Apalagi luka batin seperti itu, tidak semua orang bisa memendamnya terus-terusan.
"Nah kan, kaya gini ga sukanya gue. Udahlah." kata Bian kesal.
Gibran menghapus air matanya perlahan, "Lo hebat bisa bertahan selama itu tanpa curhat ke siapapun." pujinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream, Love, Power, and Walls [END]
Fanfiction[CERITA INI HANYA FIKSI/TIDAK NYATA] Judul asli: If Only Started: 24 Januari 2021