Kata orang, kita jangan terlalu rendah diri. Tapi itu hanya kata orang yang enggak merasakan bagaimana rasanya dibully bertahun-tahun. Efek dari itu semua ya ke kejiwaan kita. Mungkin banyak yang nggak suka dengan sikapku kemarin, yang malah lari dari masalah yang ada. Atau katakanlah aku kurang fight menjadi seorang istri dari Novan. Cowok populer di kampus yang punya segudang prestasi dan berotak cerdas. Tapi coba saja kalian mengalami hal seperti aku? Ingin rasanya aku mengatakan hal itu. Terlahir menjadi sempurna tentu saja banyak yang menginginkannya. Tapi aku terlahir sebagai cewek yang biasa-biasa saja. Tidak cantik, tidak tinggi dan tidak semampai. Mungkin perasaanku saja, tapi memang aku hanya cewek yang biasa saja. Lalu di saat pembentukan proses dewasaku, aku kehilangan kedua orang tuaku. Kehilangan mama tempat aku mencurahkan segala isi hatiku. Aku merasa limbung, tidak punya pegangan di usia semuda itu. kehadiran Novan dan keluarganya memang patut aku syukuri. Karena aku tidak merasa kesepian lagi. Hanya saja itu tetap berbeda konteksnya. Aku beranjak dewasa dengan proses seperti itu. Apalagi tiba-tiba menjadi istri seseorang. Dimana harusnya aku masih menikmati masa pendewasaanku, aku sudah menatap hal lain dalam hidupku.
Tidak mudah memang, tapi aku memang harus tetap bertahan. Aku menangis karena sebagai ungkapan kesedihanku, tapi aku nggak akan kalah dan nggak akan menyerah begitu saja. Bagaimanapun Novan itu sudah menjadi suami sahku. Aku manja, mungkin untuk sebagian orang mengatakan itu. Aku tidak dewasa? Mungkin juga orang beranggapan seperti itu. Tapi aku tetap akan menjadi diriku sendiri. Rendah diri memang selalu membayangiku, ditambah kehadiran Novan di sisiku makin membuat aku merasa rendah diri. Pressure yang aku terima itu 10 kali lipat dari yang biasanya aku terima. Dengan di samping cowok populer seperti Novan, tentu saja makin banyak orang yang mencibirku. Itu kenyataan dan fakta. Bukan hanya perasaanku saja. Coba kalian menjadi aku, kalian akan merasakannya.
"Lu udah nggak apa-apa?"
Pertanyaan itu membuat aku mendongak dari buku yang aku baca. Aku sedang berada di perpustakaan untuk menyalin tugas yang diberikan dosen, pagi ini. Sebelum makul pertama nanti jam 9.
"Kak Dika?"
Aku mengernyitkan kening melihat Kak Dika kini menarik kursi di depanku. Tumben dia sepagi ini sampai kampus.
"Gue khawatir sama lu. Diceritain Novan baru aja. Cckckckck asal lu tahu aja itu cewek banyak yang kayak gitu ama Novan. Udah nggak usah diambil hati. Tahu sendiri suami lu sepopuler apa di kampus ini. Banyak cewek yang ngiler jadian ama dia. Apalagi dikawinin. Beuh..."
Mataku melebar mendengar celotehan Kak Dika. Dia langsung cengengesan dan menggaruk-garuk rambutnya.
"Sori, keceplosan."
Aku hanya menghela nafas dan kini menatap serius ke arah Kak Dika.
"Bukan gitu Kak. Ara percaya kok sama Kak Novan. Udah sejak dulu. Tapi sampai kapan sih hal kayak gini terjadi? Ara tuh bosan, ngerasa nggak bebas aja. Kayaknya kemana-mana ada aja yang ngelihatin Ara."
Ucapanku itu membuat Kak Dika menganggukkan kepalanya.
"Iya gue ngerti, tapi coba deh lu cuek dikit gitu. Biarin sekitar lu mau ngomong apa. Yang penting, lu ama Novan tetep baik-baik aja. Gue takut malah, ada kayak gini makin buat hubungan lu ama Novan jauh. Maksud gue dalam artian, di kampus ini kalian jadi saling membatasi diri. Padahal kalian sama-sama sibuk. Kalian pengantin baru loh. Komunikasi itu penting."
******
Dan sampai makul terakhir pun, ucapan Kak Dika masih terngiang terus di kepalaku. Iya, kalau seperti ini terus, dalam artian aku menghindar, malah membuat kami saling menjauh. Kak Novan juga semalam berjanji untuk tidak terlalu mengekspos hubungan kita. Dengan seperti itu, malah membuat peluang para pengganggu menjadi lebih besar. Akhirnya aku membulatkan tekad.
"Kamu mau kemana?"
Pertanyaan Novi yang berjalan disampingku membuat aku menoleh ke arahnya.
"Mau ke fakultasnya Kak Novan."
Mata Novi langsung melebar "Sendiri?"
Kuanggukan kepala dengan mantap. "Serius?"
Aku kembali menganggukkan kepala dengan mantap.
"2 rius Novi. Aku duluan ya."
Aku berlari kecil meninggalkan Novi yang masih bingung dengan perubahan sikapku. Iya memang mengejutkan. Karena sebelumnya aku tidak mau terlihat bersama Kak Novan, tapi sekarang malah datang ke fakultasnya Kak Novan. Masuk ke kandang singa.
Aku melangkah melewati lapangan basket yang sering digunakan mahasiswa untuk bermain kalau sore. Menyeberangi lapangan rumput yang hijau, dan sebentar lagi sampai di tempat Kak Novan. Dia mengatakan ada di lab tadi lewat wa. Aku sudah bertanya letak lab itu. Tapi jantungku tiba-tiba berdegup kencang saat sampai di depan pintu lab, karena berbarengan dengan segerombolan cewek keluar dari sana. Mereka menatapku dengan pandangan heran. Aku hanya menganggukkan kepala dan mencoba tersenyum, bagaimanapun mereka kakak tingkatku.
"Kamu istrinya Novan kan?"
Tiba-tiba ada seorang cewek menghampiriku. Aku langsung menganggukkan kepala. Gerombolan cewek tadi yang sudah melangkah kini berbalik lagi untuk menatapku. Aku dengar bisik-bisik di dekatku.
"Eh, kalian emang dijodohin ya?"
Pertanyaan itu lagi yang membuat aku akhirnya menegakkan diri dan menganggukkan kepala dengan mantap.
"Iya, sejak kecil."
Jawabanku itu tentu saja membuat kasak kusuk di dekatku makin terdengar jelas, saat itulah sosok yang aku cari muncul dari pintu lab.
"Ara?" Novan tampak sangat senang saat melihatku, dia langsung menghampiriku dan menggandeng tanganku. Menggenggamnya erat.
"Udah selesai kuliahnya?"
Kuanggukan kepala dan tersenyum lebar ke arah Kak Novan.
"Udah Kak. Ara mau ke sini, lihatin Kak Novan kerja."
Kak Novan langsung mengacak rambutku dan tersenyum manis. Lalu aku bisa mendengar dengan jelas ada teriakan cieee... uwuuuuu di sekitarku. Kak Novan malah tertawa dan menarikku masuk ke dalam lab.
"Bentar lagi ya, kamu duduk sana. Aku beresin ini dulu."
Aku menurut dan duduk di sebuah kursi sedangkan Kak Novan memberesi peralatannya. Suara kasak kusuk di luar sudah tidak terdengar.
"Gampang kan?"
Aku mendongak mendengar pertanyaan Kak Novan.
"Apanya?"
Kak Novan mengedipkan matanya ke arahku dan tersenyum "Kamu percaya diri Ara, dan miliki aku. Semua itu mudah kok. Nggak ada yang sulit kalau kita bertahan."
Benar, memang itu yang aku rasakan saat ini. Semoga aku tetap bisa bertahan.
Bersambung
Ara itu bukannya manja atau belum dewasa, atau belum berubah dari SMA Ke masa kuliah. Yang namanya proses pendewasaan itu butuh waktu, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Seperti kalian, proses pendewasaan kalian itu juga sesuai dengan waktu yang berjalan. Jadi di sini author mau menuliskan sesuatu yang nyata, bukan hanya sebuah drama yang dengan instan bisa berubah. Ara jadi kuat atau Ara jadi percaya diri, itu tidak mudah. Sekali lagi semua butuh proses. Oke oke.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kekasih Halal
RomanceNara tidak pernah tahu kalau pria yang sudah menjadi suaminya itu kuliah di kampus dan fakultas yang sama dengannya. Setahu dia, sang suami menuntut ilmu di luar negeri seperti pamitnya dulu. selama itu mereka berkomunikasi lancar, tapi Novan tidak...