BAB 07 MENCOBA BERSABAR

9.9K 2.2K 151
                                    

Aku benar-benar terkejut dengan keintiman ini. Setelah kecupan itu, Novan meminta ijin untuk mencium bibirku dengan lebih intens. Aku yang belum pernah merasakan semuanya, tentu saja malah menjadi ketakutan akan hasrat yang tiba-tiba datang. Sebelum semuanya membuat aku makin bingung, untuk saja Novan mengakhirinya. Tapi aku bisa melihat gairah yang berkelebat di matanya. Aku masih polos dan lugu, tapi aku bisa membedakan mana orang yang menahan sesuatu. Seperti Novan. Dia berdehem dan melangkah mundur, lalu mengusap tengkuknya dan mengatakan akan pergi ke kamar mandi. Sedangkan aku sendiri berusaha untuk menetralkan degup jantungku dan menetralkan semuanya. Karena suhu tubuhku juga tiba-tiba terasa menghangat. Ah inikah yang dinamakan hasrat?

"Ehem, Ra.. mau makan apa?"
Setelah 30 menit berlalu, dan aku sudah bisa menguasai diri. Novan tiba-tiba muncul lagi dengan wajah yang sudah kembali normal. Bahkan dia tersenyum saat melihatku masih terduduk di atas kasur dengan selimut mengumpul di bawah kakiku. Aku yang tentu saja masih canggung kini hanya menganggukkan kepala. Novan sepertinya mengerti kecanggunganku, karena dia kemudian duduk di tepi kasur lalu mengulurkan tangan untuk mengusap kepalaku.

"Maafin Kakak ya? Maaf kalau tadi udah membuat kamu takut."

Ucapannya membuat aku kembali menelan ludah. Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan. Bisa dibilang pengalamanku dengan cowok dan intim hanya dengan Novan. Dan sejauh ini kita hanya sebatas cium pipi, bibir dan pelukan. Tapi kalau sampai ciuman yang intens begitu, hanya tadi dan baru pertama kali. 

"Kak, jangan seperti itu lagi ya? Ara takut."

Akhirnya aku mengatakan apa yang menjadi ganjalanku. Novan akhirnya tersenyum dan menganggukkan kepala. Dia membentuk tanda dengan dua jarinya.

"Iya, Kakak janji. Besok kalau Kakak mulai kelewatan, Ara bilang ya? Maaf."

Aduh. Aku malah merasa sangat bersalah. Sungguh. Novan kini bergeser untuk mendekat ke arahku dan mengukur suhu tubuhku dengan telapak di keningku.

"Ehm masih panas. Kakak lupa, kalau kamu itu tidak boleh kecapekan. Kamu pasti terkejut kan dengan padatnya aktivitas kamu. Sekarang juga Kakak antar ke dokter."

"Tapi Kak..."

Novan sudah menggelengkan kepala melihat aku akan memprotes.

"Harus Ara. Kamu perlu  periksa."

****** 

"Adeknya dijaga ya? Dia memang mempunyai kondisi tubuh yang rentan. Kalau terlalu lelah pasti akan mengalami demam, pusing bahkan bisa mimisan. Jadi perbanyak makan sayur dan buah serta vitaminnya jangan sampai lupa. Yang pasti jangan diforsir ya? Kenali tubuh kamu sendiri, kalau dirasa sudah lelah jangan dipaksa."

Dokter Reni, mengatakan itu kepadaku dan  Novan. 

"Jadi harus kontrol juga Dok?"

Novan yang menanyakan hal itu sambil memakaikan jaket di tubuhku. Dokter cantik di depanku tersenyum dan menganggukkan kepala.

"Iya, besok kalau obat sudah habis ke sini lagi ya?"

"Baik Dok."

"Dijaga lho adiknya yang imut gini."

Aku hanya terdiam dan Novan tersenyum. Kami memang seperti kakak beradik cocoknya. Akhirnya kami berpamitan dengan Novan merangkul bahuku dengan tangannya. Dia terus menjagaku sampai kami berada di dalam mobil. Aku baru tahu kalau Novan juga mempunyai mobil. Sejak kemarin dia membawa motornya. 

"Makan apa?"

Novan memakai seatbelt dan menoleh ke arahku. 

"Ehm enggak lapar, " jawabku yang membuat Novan kini menghela nafasnya.

"Ya harus makan buat minum obat."

Tapi aku menggelengkan kepala lagi "Pingin bobok lagi, masih pusing."

Akhirnya Novan menganggukkan kepala dan menurutiku. Tapi di tengah jalan, dia berhenti di depan warung tenda. Menyuruhku untuk menunggu dan dia memesan dua piring nasi goreng. Meski aku tidak nafsu makan, tapi bisa masuk beberapa sendok dan disuapi oleh Novan sudah membuatnya tersenyum. Akhirnya kami kembali ke rumah Novan karena sudah malam. Rencana untuk mengambil baju ke rumah Tante Imel diurungkan. Novan juga sudah memberitahu Tante Imel kalau aku sakit dan menginap di rumahnya. Sampai di rumah, Novan bahkan menyiapkan kasur dan menyuruhku untuk tidur. 

"Kakak mau ngerjain tugas dulu, kamu enggak apa-apa kan?"

Aku sudah kembali berbaring di atas kasur dan berselimut dengan hangat. Kugelengkan kepala dan kini menatap Novan yang mengambil laptop di atas meja belajarnya. Tapi dia melangkah kembali ke arahku dan naik ke atas kasur. Menata bantal untuk sandaran punggungnya lalu dia duduk dengan nyaman.

"Kakak selama dua tahun apa tidak kesepian di rumah sendiri?"
 Pertanyaanku membuat Novan yang baru saja membuka dan menyalakan laptopnya kini beralih untuk menatapku.

"Enggak. Kan tiap hari kamu telepon."

Aku jadi mengerucutkan bibir, ingat kalau aku memang terlalu polos. Karena Mama Novia mengatakan kalau aku boleh menghubungi Novan kapan saja dengan nomorku dan tidak usah pusing dengan pulsanya. Aku sempat berpikir telepon ke luar negeri itu kan mahal, tapi Mama Novia mengatakan tidak masalah, yang penting aku tidak bersedih lagi karena ditinggal Novan. Karena memang aku sempat bersedih dan murung terus selama 2 minggu setelah kepergian Novan.

"Ih, Ara emang bodoh. Kok mau-maunya dibohongin ya? Kalau dipikir telepon ke luar negeri kan mahal? Lah Ara padahal tiap hari telepon Kakak."

Novan malah terkekeh lalu menarik selimutku untuk membenarkan sampai sebatas dada. Dia mengerlingkan matanya dan membuatku tersipu.

"Justru sepolos itu kamu, makanya buat aku makin cinta dan gemas."

Novan mengulurkan tangan untuk mencubit pipiku yang membuat aku mengaduh.

"Utu, utu, sakit ya?"

Dia mengusap pipiku kemudian, lalu tangannya kini beralih ke kepalaku. Mengusapnya di sana, perlahan dan lama. Bahkan aku sudah mengantuk lagi.

"Ara, aku mencintaimu."

Bisikan itu menjadi pengantar tidurku. Ah aku bermimpi dicium kembali oleh Novan, tapi terasa begitu nyata.

BERSAMBUNG

 Yuhuuuuuu dobel up nih ramekan yaaa

Kekasih HalalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang