Bab 8

53 7 4
                                    

Di dalam mobilnya Kabir tidak merasa nyaman. Pria itu mencuri pandang lewat spion di atasnya. Melihat Azura terduduk diam di bangku belakang sementara pandangan istrinya itu terpusat ke luar jendela. Kabir masih mengingat jelas alasan Azura tidak ingin duduk di sebelahnya. Itu karena dia akan mual. Yah, Kabir bisa memahaminya karena Azura memang sedang hamil. Tapi kenapa wajahnya masih murung begitu? gerutu Kabir masih menatap wajah kecut Azura.

Azura terlihat tidak tertarik dengan rencana kencan mereka. Bahkan istrinya itu tidak sedikitpun bertanya kemana tujuan Kabir akan membawanya. Haruskah wanita hamil sedingin itu?

"Sepertinya kita pulang saja." 

Azura langsung menengok ke depan, tepat di bangku kemudi. Asal suara bernada lesu itu keluar. Wanita itu terlihat heran. "Apa kita melupakan sesuatu?" tanyanya polos.

Kabir mendesah. Menggeleng malas. "Tidak. Bukan itu. Hanya saja aku jadi kepikiran tentang pekerjaan di kantor yang belum selesai. Aku berpikir apakah harus kembali ke kantor di waktu libur ini untuk menuntaskan tugasku atau tidak."

Diam. Kabir melihat Azura sedang memikirkan sesuatu. Kerutan di wajahnya pasti menandakan bahwa wanitanya itu akan menenangkannya dengan berkata ...

"Kau pergi saja ke kantor. Aku tidak masalah untuk membatalkan kencannya," ucap mudah Azura. Tersenyum lebar. Berbalik dengan apa yang dipikirkan Kabir. Kabir mengira Azura akan menenangkannya dan melarangnya pergi tapi ... Ah, kenapa dia seakan menjadikan alasan asal-asalannya itu untuk mengusirnya secara halus? Kabir mengela napas dan menatap Azura dengan kecewa.

Tanpa mengetahui perasaan Kabir, Azura melanjutkan perkataannya dengan lancar, "Lagipula, aku butuh istirahat di rumah. Sebenarnya dari tadi badan-badanku pegal semua. Aku takut jika berkata jujur nanti malah mengecewakanmu. Kau terlihat senang sekali dengan rencana kencan kita."

"Baiklah. Aku akan mengantarmu pulang saja," balas lesu Kabir dengan senyum simpul yang terkesan dipaksakan.

***

Ada seseorang di dalam rumahnya. Azura dapat tahu dari sepasang sepatu yang dibiarkan tergeletak di latar teras rumahnya. Ia masuk ke dalam sambil mengucapkan salam. Lalu mendadak kaku saat bertatapan muka dengan sosok yang tak diharapkan datang. Itu ibunya.

"Hai, Sayang. Aku datang untuk menjengukmu. Bagaimana kabarmu?" Wanita dengan saree maroon itu tersenyum lebar. Mendekati Azura, mencoba memeluknya tapi beralih canggung ketika Azura langsung mundur dan mengelak untuk bersentuhan. Wajah putrinya itu bahkan terlihat sangat jijik padanya. "Oh, kau terlihat kurusan." Tawanya terdengar tak begitu lepas. Ia menatap hati-hati Azura. "Maafkan ibu karena baru bisa menemuimu sekarang."

Diam. Bahkan menatapnya terasa enggan. Azura sangat ingin melarikan diri dari kondisinya ini. Rasa sakit hati karena dibuang saat kecil oleh ibu kandungnya sendiri dan bahkan tak diakui anak karena ibunya itu sudah berubah menjadi bangsawan setelah menikah dengan pria asal Belgia itu membuat Azura sulit memberikan maaf. Kepedihan yang dirasakan Azura terlalu dalam. Ia tidak bisa memaafkan ibunya itu.

"Oh, kau sudah datang?" pekikan tak menyangka dikeluarkan dari arah belakang dapur. Ibu mertuanya datang untuk mencairkan suasana sambil membawa senampan kudapan dan jus segar. "Kenapa wajahmu pucat sekali, Azura sayang?" Setengah berlari dan meletakkan nampan ke meja tamu, ibu mertuanya langsung mendekai Azura, bahkan secara sengaja menyenggol bahu belakang ibu kandung Azura sampai tamunya itu terlihat sangat tidak terima.

Wajah Azura langsung ditangkup kedua tangan mertuanya. Azura sampai membelalakan mata saking terkejutnya dengan perhatian ibu mertuanya itu. "Oh, sayang. Sepertinya kau kelelahan. Lihatlah wajah putihmu ini. Biasanya kau terlihat seceria warna tomat. Tapi sekarang? Kau selayu kapas yang basah. Oh, sungguh malangnya."

Azura berkedip-kedip sementara kepalanya kini sedang bersender di bahu ibu mertuanya. Sementara ia berada dalam pelukan hangat dan ditepuk-tepuk sayang kepalanya oleh sang ibu mertua, di hadapannya ia bisa melihat aura kecemburuan yang belum pernah ia lihat dari ibu kandungnya.

"Kau harus istirahat." Ibu mertuanya melepas pelukan dan menatap serius Azura. "Ayo, aku antar sampai kamarmu." 

Mereka berbalik dan tercegat oleh ibu kandung dari Azura. Wanita itu terlihat jengkel. Hampir mengucapkan sepatah kata pada Azura tapi terpotong oleh perkataan cepat mertuanya Azura, "Maaf, Nyonya Baz terhormat. Waktu kunjungan anda bisa diperpanjang lain kali. Seperti yang anda lihat. Putri saya membutuhkan waktu pentingnya untuk tidur. Jadi ... enyahlah dari hadapanku." Tegas. Penuh sorotan tajam dan tentu nada kebencian di akhir. Hal itu membuat nyali Mrs. Baz menciut. Ia bahkan pergi tanpa menyapa dulu Azura.

"Hah, wanita sepertinya tidak pantas sama sekali untuk dihormati," gerutu ibu mertua Azura. Ia memegang lembut lengan Azura, berpesan lembut, "Jangan memikirkannya lagi. Kini kau sudah punya aku. Ibu mertua yang bisa kau andalkan. Aku akan menjaga sekaligus merawatmu seperti anak kandungku sendiri. Jadi jangan merasa sungkan padaku lagi. Paham?"

Azura mengangguk sambil tersenyum senang. Lewat sorot matanya Azura merasa berterima kasih pada ibu mertuanya itu.

***

Keputusasaan terlihat memenuhi wajah-wajah orang yang secara panik mendatangi rumahnya. Mereka semua terhenti di tempat dengan raut tercengang yang mirip. Melihat pria yang sudah dicari selama satu jam itu kini terbujur kaku terselimuti kain putih di lantai keramik bekas kamar mandi dari rumah Mrs. Joshi, mantan istri Mr. Lawrence yang sekaligus ibu kandung Alex.

Salah seorang pria dari pihak divisi kriminal, yang juga pertama kali sampai setelah dikabari berita penemuan jasad Mr. Lawrence itupun mengeluarkan walkie talkie yang terpasang disabuk pinggangnya. Pria itu bicara sambil berbisik di walkie talkienya dan menyelinap keluar tanpa sepengetahuan siapapun. "Ada yang sudah membunuhnya terlebih dahulu. Aku tidak yakin itu siapa. Tapi sepertinya kasus kali ini kita yang kalah."

Kabir memejamkan mata. Terlihat begitu frustasi. Ia membuka mata dan melirik ke pria berseragam polisi yang tengah berbincang serius lewat walkie talkie. Pria itu terlihat sama marahnya. Bahkan sampai membuang kasar walkie talkie ke bangku belakang setelah selesai bicara.

"Sialan, kesempatanku untuk menang gagal lagi," gumam Anant, nama si polisi berberewok itu. Ia menoleh ke Kabir. Terlihat menyesal. "Seharusnya aku mendengarkanmu. Maaf karena sudah merusak semuanya." 

Sebenarnya sehari sebelum Mr. Lawrence ditemukan tidak berada di selnya, Kabir sudah meminta supaya pihak kepolisian menambah sipir yang menjaga Mr. Lawrence, dikarenakan Kabir melihat seseorang aneh yang selalu hadir di pengadilan dan selalu menatap tajam Mr. Lawrence seakan orang itu akan membunuhnya. Terlebih di pengadilan terakhirnya Mr. Lawrence hampir menang. Tentu kegelisahan Kabir semakin kuat. Tapi Anant, pria itu terlalu fokus untuk cepat-cepat merampungkan tugas ketiganya berhadapan dengan pengacara kotor paling dibencinya, Deva Sangkar, supaya bisa menang dan mempermalukan pengacara berwajah dua itu. Sungguh disayangkan.

"Semuanya sudah terjadi. Jadi, sudahlah."

"Kira-kira, menurutmu siapa yang membunuhnya?"

"Entah, akupun tak tahu. Bukankah dia ditemukan di rumah mantan istrinya?"

"Ya, dia tergeletak dengan posisi tengkurap di samping bath up. Dari informasi yang kudapat ada bekas pukulan di dahi dan buku-buku jarinya. Aku merasa ada sedikit perlawanan yang mungkin terjadi. Tapi kita harus menunggu lebih detailnya nanti dari tim forensik."

"Ya, kau benar." Ada sesuatu yang mengganggu Kabir. Ia memikirkan sesuatu dan tiba-tiba bertanya spontan, "Lalu, apa Amaar sudah mengetahui tentang kondisi Pamannya?"


To be continued

Jangan lupa follow dan like, guys.

Oh, ya kritik dan sarannya juga, ya.

PareshaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang