***
Kran itu dinyalakan. Segera ia tampung air yang mengucur deras dalam wastafel dengan kedua tangannya, menyipratkannya ke wajah. Napasnya yang tadinya memburu berubah teratur. Kedua matanya terbuka ke depan. Menatap cermin dengan amarah kuat. Lalu tiba-tiba ia berdiri tegak dan menendang sisi tembok dengan kesal. Dasi yang mengikat lehernya segera dilonggarkan. Kancing di kedua lengan kemejanya segera dibuka. Ia sisingkan lengan kemejanya sampai ke siku. Lalu berbalik cepat dan berteriak nyaring karena kaget.
"Sialan kau Sadiq! Apa kau mengikutiku?!" bentak Kabir dengan napas tersengal-tersengal.
"Ya. Aku mengikutimu karena khawatir kau bisa membunuh selingkuhan istrimu yang mengaku sebagai teman baikmu tadi."
Kabir berubah kaku. "Dari mana kau tahu semua itu?" jawabnya terpatah-patah.
Sadiq memasang muka datar. "Aku jurnalis senior. Informasi serahasia apa pun bisa kudapatkan dengan semudah ini," katanya sambil menjentikkan jari dan tersenyum tanpa dosa. Lalu tatapannya beralih meneliti Kabir dari bawah ke atas. "Apalagi rekan kerja sepertimu. Yang baru bergabung dua tahun ini."
Kabir mendesis. "Kau sungguh mengagetkan, tahu!"
Sadiq hanya tersenyum. "Jadi bagaimana? Kau ikut bergabung dalam permainannya?" tanya Sadiq tiba-tiba.
"Maksudmu apa?" Kabir mengernyit kebingungan.
"Si Ammar. Orang kaya sombong itu," tekan Sadiq, menjelaskan dengan nada kesal yang menyiratkan perasaan benci saat wawancaranya selalu ditolak oleh Ammar. "Bukankah dia tadi mengaku sebagai teman baikmu dan mengoceh seperti apa keakraban di antara kalian berdua waktu sekolah dulu?"
Kabir mengangguk. Berat mengakui. Ia masih ingat bagaimana santainya Ammar tadi menghampirinya. Pria sialan itu merangkul pundak Kabir dan bicara seolah mereka teman dekat. Teman yang amat dekat. Menjijikan!
Sadiq tersenyum sambil membayangkan idenya. "Kita juga akan ikut bersandiwara. Kau akan mengaku sebagai sahabat baiknya dan bisa mengatakan bagaimana buruknya ia di masa lalu. Mungkin dengan sedikit efek dramatis akan lebih baik. Lagipula, dari berita yang kutahu Ammar Qadri itu punya hubungan baik dengan Kunal Chawdry. Kau bisa punya jalur lebih cepat untuk mendekati Kunal lewat Ammar dengan cara memerasnya."
Kabir menatap serius Sadiq. Baru mengerti. "Maksudmu memerasnya dengan skandal yang terjadi antara ia dan ... istriku?"
***
Di kursi kayu berbantalkan busa empuk itu sudah ada satu perempuan berbusana blus dan celana rapi dengan rambut terkepang pinggir. Ia memegangi pinggiran topi lebarnya yang tergeletak di meja depannya. Tatapannya mengarah lurus ke pintu masuk bergeser. Banyak orang yang lalu lalang. Tapi perempuan itu belum juga muncul, batinnya bosan.
Lalu masuk satu perempuan berblazer rapi dengan celana panjang hitam. Wajahnya tak terlalu jelas karena tertutupi kaca mata hitam lebar. Tapi potongan pendek rambutnya sangat menarik. Dan perempuan itu terlihat cukup handal walau dalam aspek waktu kurang on time. Pendapat terakhir itulah yang membuat Karishma sedikit malas bertemu dengan Alex. Baginya waktu sangat berharga. Jika saja dua jam yang lalu ia lewatkan dengan berolahraga sebentar, tentu saja badan Karishma jadi terlihat lebih bagus saat memakai gaun pernikahannya nanti. Bukannya malah makan bercup-cup es krim berlemak tinggi ini.
"Maaf, aku telat," ujar penuh penyesalan Alex begitu mendekati meja Karishma.
Karishma menggangguk maklum. "Aku paham betul keramaian lalu lintas di sini. Jadi, tak mengapa. Duduklah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pareshaan
RomanceTentang Kabir (Shah Rukh Khan). Seorang pria Muslim yang tengah merencanakan pernikahannya bersama wanita Hindu bernama Karishma (Anushka Sharma). Kabir bekerja di salah satu perusahaan pers ternama di Delhi. Pekerjaannya sebagai wartawan, mengharus...