Bab 10

129 11 8
                                    

Bisa melihatnya lagi adalah sebuah keberuntungan. Wanita yang masih menatapnya dan terbaring lemah di ranjang rumah sakit itu masih erat menggenggam tangannya. Ammar tersenyum, perlahan melepas genggaman Azura. "Selamat atas pernikahanmu, Azura." Suaranya terdengar serak. Ammar tahu ini sangat menyakitkan. Tapi ia harus sadar akan batasan yang sekarang harus ia jaga dengan wanita yang terlihat kaget itu.

Azura berubah kaku. Ia memalingkan wajah. "Kau sudah mengetahui bahwa aku tidak bisa setia menunggumu. Apa kau sama sekali tidak marah?"

"Marah?" Ammar tertawa, agak terdengar terpaksa. "Untuk apa aku marah? Kau sudah berhasil menemukan pria yang sempurna untuk hidupmu. Tentu saja aku bahagia. Lagipula ... bukankah aku sendiri yang sudah meninggalkanmu tanpa kabar?"

Mereka terdiam lama. Sampai akhirnya Azura tidak tahan untuk terus memendam emosinya.

"Tapi aku tidak bahagia, Ammar."

Wanita itu terdengar pilu. Dari sudut matanya keluar bulir air mata. Azura diam-diam menangis.

"Pernikahan yang kujalani ... semuanya karena paksaan. Aku memaksa diriku untuk bisa mencintai Kabir. Padahal kebenarannya aku sulit melupakan ... "

Ammar menunggu lanjutan perkataan Azura, tapi gadis itu terdiam. Seakan berusaha menahan desakan perasaan jujurnya pada Ammar.

Ammar menghela napas. Memutuskan untuk pertama kali yang mengeluarkan unek-unek. "Aku tidak mengerti kenapa bicaramu seaneh ini, Azura. Jelas-jelas kau terlihat begitu bahagia di pernikahanmu. Bahkan kau sendiri yang meminta jadwal pernikahannya untuk dimajukan. Sekarang kau malah berkata lain bahwa ini bukanlah pernikahan yang kau inginkan. Dan mulai membuatku bingung apakah mungkin kau masih belum bisa melupakan aku dan ..." Ammar menundukkan matanya, terlihat ragu-ragu, "masih mencintaiku?"

Azura langsung menatap Ammar. Ingin sama-sama jujur akan perasaannya.

***

Ia baru saja akan masuk ke mobilnya, untuk mencari Azura, saat ibunya tiba-tiba berlari menghampiri sambil satu tangan terangkat tinggi-tinggi, menggenggam ponsel.

"Kabir, putraku. Lihatlah ini." Sang ibu menunjukkan sebuah pesan di ponselnya yang bertuliskan jika Azura tengah ada di rumah sakit. Terlampir sebuah foto juga yang menampilkan ada seorang pria bersyal rajut yang membopong Azura.

Kabir memperbesar gambar dalam layar itu. Hanya terlihat punggung si pria. Wajahnya sulit dikenali. Tapi dipastikan orang yang dibopong pria asing itu adalah Azura. Kabir masih mengingat jelas selendang motif yang dipakai istrinya itu sama persis seperti yang terlihat di foto. Tapi, siapa pria ini?

"Bu, kau mendapatkannya dari mana?" tanya Kabir sambil memeriksa ternyata pengirimnya adalah nomor yang tak dikenal.

"Ibu juga tidak tahu. Tiba-tiba saja ada nomor asing yang mengirimiku pesan-pesan itu." Si ibu melihat sang anak menempelkan ponsel ke telinga. "Percuma saja meneleponnya balik. Panggilanmu tidak akan dijawab. Aku sudah berkali-kali mencobanya. Tapi dia malah mematikan panggilanku. Sungguh aneh."

Setengah mengumpat Kabir memutus panggilannya yang sia-sia. Ia melihat lagi pesan yang dikirimkan orang asing di ponsel. Membaca dan mengingat alamat rumah sakitnya. Dan langsung pergi menggunakan mobil untuk menyusul Azura.

Mobil Kabir berhenti tepat di samping ibunya. Kabir melongok dari jendela dan melempar ponsel yang sigap ditangkap ibunya. "Aku pergi dulu. Jangan lapor polisi sebelum aku menemukannya malam ini. Aku janji akan membawa Azura kembali."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 22, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PareshaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang