BAB 2 : Memutuskan

145 15 14
                                    

***

"Jangan main-main. Kau sudah mengontrak di sini tanpa membayar uang muka. Bukannya aku tidak kasihan. Tapi lihatlah. Ini. Kau lihat daftarnya baik-baik dan tanggal berapa sekarang." Kertas putih berisi tulisan mencekam itu hampir mengenai wajah Azura jika saja ia tak langsung menghindar.

Gadis berkerudung maroon itu membaca isi kertas di tangannya. Lalu perlahan mulutnya menganga disertai tatapan terkejut ke arah Bibi separuh baya berbadan subur yang tengah mendelik marah padanya. "Bibi, apa ini benar-benar keseluruhan harga sewa rumahku selama sebulan?" tanya Azura tak percaya.

"Iya. Tentu saja. Kau lupa? Dengan kelakuan dua anggota barumu itu?" Wajah Bibi bersaree coklat gelap itu semakin tertekuk jengkel. "Mereka. Dua anak perusuh itu selalu menyalakan televisi, kipas angin dan komputer secara bersamaan. Kau tentu tahu, Azura. Jika tagihan listrik itu makin mahal. Bukannya tahu diri untuk berhemat. Kau sendiri malah menghamburkan listrik dengan percuma."

"Maafkan aku, Bi. Aku pasti akan membayarnya." Azura merasa tidak enak hati. Ia merogoh isi tas selempang putihnya. Diambil beberapa lembar uang. Sedikit berpikir untuk menyisihkan beberapa lembar uang, namun tidak jadi setelah Bibi pemilik kontrakan berwajah galak itu merampas uang Azura dan pergi tanpa pamit.

Di tempatnya, Azura hanya mendesah pasrah. "Haaye, Allah. Itu uangku satu-satunya. Bagaimana aku bayar biaya perawatannya? Aku tidak punya tabungan sama sekali," gumamnya sendiri.

Azura hendak pergi ketika mendadak datang seorang pria bersetelan rapi mendatanginya. Pria itu memakai kacamata hitam, membuat wajahnya terlihat jauh lebih tegas dengan alat komunikasi yang menempel di telinga sebelah kanannya. "Permisi, apa benar ini kediaman Nyonya Azura Malik?" tanyanya sopan.

Azura agak terkejut, namun ia tetap mengangguk dan mengiyakannya dengan senyum ramah. "Iya, saya Azura."

"Anda mendapat paket dari seseorang. Tolong diambil dan ini ..." Pria bersetelan hitam itu mengambil sesuatu dari saku dalam jasnya dan menyerahkannya ke Azura. "Surat untuk anda, Nyonya Malik."

Azura kebingungan. Tangannya meraih ragu surat itu dan menatap wajah pria itu dengan segala pertanyaan. "Ini dari siapa? Siapa yang mengiriminya?"

Pria yang ditanya hanya menjawab dengan senyuman. "Maaf, tapi saya tidak bisa menyebutkan nama pengirim paketnya. Yang pasti dia adalah seorang pria dan terlihat begitu sangat memperhatikan anda. Saya permisi, Nyonya."

"Ya, terima kasih." Azura menatap kepergian pria itu dengan bingung. Bertambah kaget saat tahu bahwa isi paketnya ternyata adalah uang berlimpah. Ia membuka surat itu dan dibacanya. Berharap mendapat info tentang siapa pengirim paket misterius itu dari surat beramplop merah yang dipegangnya. Namun nihil. Dalam suratnya hanya tertulis permintaan maaf dan terima kasih. Tanpa identitas pengirim. "Sangat aneh," pikir Azura tertegun menatap paketnya.

***

Mobil hitam itu terparkir. Tepat di depan sebuah gang sempit. Terlihat sudah ada satu pria yang terduduk di bangku belakang. Menunggu cemas sambil sesekali menatap ke jam yang melingkari pergelangan tangan kirinya.

Satu orang keluar dari gang sempit itu. Langsung mendekati kaca samping mobil. Jendela kaca mobil itu terbuka, menampilkan sosok pria borjuis yang berpenampilan jas rapi. Bertanya langsung, "Diterimakah?"

"Kali ini ia menerimanya," jawab mantap pria di luar kaca jendela. Pria sama yang tadi mengantarkan paket untuk Azura.

"Bagus. Kau pergi duluan saja. Aku masih ingin di sini."

"Oke, Sir."

Ponselnya berdering, tak lama setelah pria yang disuruhnya menjauh itu pergi menggunakan mobil lain. Ia angkat ponsel itu dan ditempelkan di telinga, bicara bosan, "Sejak kapan aku menyebar nomorku pada orang tidak berkepentingan sepertimu? Mau apa kau meneleponku lagi?"

PareshaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang