Bab 9

60 4 1
                                    

Terpuruk di sudut ruangan yang sepi, Alex jatuh dalam posisi terduduk. Desakan air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya dibebaskan. Mengetahui kepergian sang ayah dengan cara tragis membuatnya teramat terpukul. Ia bahkan sampai meremas leher kemejanya sendiri dalam posisi membungkuk. Menangis sesedihnya diiringi suara dalam pikirannya yang masih bertanya-tanya apa alasan ayahnya bunuh diri itu.

Di balik pintu yang tak tertutup sepenuhnya, berdirilah Ammar dalam tatapan pilu melihat sendiri kacaunya kondisi sepupu yang selama ini ia anggap tangguh. Sangat tidak masuk akal jika Pamannya bunuh diri di saat pengadilan akan membebaskannya dari penjara. Sesuatu yang aneh sudah terjadi. Tangan Ammar mengepal. Rahangnya mengeras dengan peralihan tatapan yang menjadi tajam. Ia akan memberi pelajaran orang di balik pembunuhan ini.

Ammar melangkah gusar bertepatan dengan datangnya Kabir. Kabir yang pertama melihat kemunculan Ammar berusaha untuk menyalurkan bela sungkawanya, tapi malah terdiam ketika Ammar langsung mengabaikannya. Pria itu terlihat terburu-buru keluar dan pergi menggunakan mobil.

***

Berhenti di gerbang sebuah rumah elite, Ammar keluar dari mobil dan sempat membanting pintu mobil. Ia menatap ke rumah berwarna pastel itu dengan jengkel. Berhadapan dengan satu penjaga yang melarangnya masuk sebelum Ammar memberitahukan identitasnya. Ammar mendengus. Tersenyum menghina. "Minggirlah. Aku tidak punya urusan denganmu."

"Maaf, Tuan muda, tapi di dalam sedang ada rapat rahasia. Bos melarang saya untuk membiarkan siapapun masuk." Tangan penjaga itu bahkan terang-terangan menahan lengan Ammar. Berdiri tangguh menutupi pintu gerbang.

"Baiklah, aku paham. Tapi secepatnya beritahukan pada orang tua itu kedatanganku. Aku akan kembali.

Ammar kembali masuk ke dalam mobil. Mengebut ke tempat lain. Di sisi lain sang penjaga langsung mendekatkan walkie-talkie ke mulut dan bicara serius, "Keponakan Mr. Lawrence datang. Wajahnya terlihat seperti akan meninju orang. Dia tahu. Aku yakin dia sudah tahu kebenaran kita. Bagaimana Bos? Haruskah aku membungkamnya sendiri?"

"Jangan. Biar aku sendiri yang membujuknya. Semakin tersenggol maka apinya akan menyulut kemana-mana. Kita harus tenangkan dia dulu dengan memberinya alasan kenapa Lawrence busuk itu sudah sepantasnya dibunuh." Pria di balik suara berat itu menyeringai licik. Ialah lawan Lawrence di pengadilan. Politikus yang terciduk berselingkuh dan orang yang melakukan suap di rumah sakit yang dikelola Lawrence. Jika Lawrence tidak memergokinya saat tengah bercumbu dengan perawat rumah sakit sialan itu, maka keborokannya dalam dunia politik tidak akan terbongkar dan Lawrencepun akan selamat. Ialah orang yang sama sudah menjebak Lawrence dengan memalsukan kejadian tabrakan yang membelit Lawrence. Bekerja sama dengan polisi setempat untuk menangkap Lawrence atas tuduhan mengebut dalam kondisi mabuk dan menabrak seorang wanita padahal kejadian itu tak pernah ada, juga mencemari nama baiknya Lawrence dengan membuat pengakuan palsu dari pasien yang dirawatnya bahwa Lawrence itu dokter cabul.

"Aku tidak yakin harus berkata apa. Tapi ... cucumu baru saja datang, mau menemuiku. Kuharap dia tidak punya keinginan lebih buruk untuk menghabisiku setelah tahu akulah yang membunuh Paman sok bijaknya itu."

"Ammar? Apakah dia tahu masalah ini?" Orang yang merespon dengan wajah terkejut itu adalah Zulfikar. Kakek dari Ammar. Satu-satunya orang yang berubah membenci Mr. Lawrence setelah menantunya itu tega mencerai putrinya hanya karena merasa sudah tak cocok lagi.

"Kurasa hanya tahu sebagian. Mungkin dia tahu akulah dibalik terbunuhnya Lawrence. Tapi sepertinya dia tidak tahu bahwa kau juga ikut terlibat dalam masalah ini. Jadi ... kenapa tidak kita manfaatkan saja?" Seringainya menandakan sesuatu yang lebih jahat.

Zulfikar tersenyum. "Aku mengerti. Kalau begitu biarkan aku meluruskan kerumitan ini. Akan kubuat cucuku untuk tidak mengganggu kesenangan kita lagi. Permisi."

Keduanyalah yang merencanakan untuk penghancuran Lawrence. Dengan alasan kebencian yang sama, juga Zulfikar yang terpikat oleh iming-iming pejabat daerah yang kelak akan diterimanya selesai kasus Lawrence itu, merekapun setuju untuk melakukan kerja sama. Menghabisi karier sekaligus nyawa Lawrence.

***

Isak tangis para pelayat yang hadir dalam pemakaman di sore yang mendung itu membuat Kabir menundukkan kepala. Berdiri di sebelah polisi yang sempat menangani kasus Mr. Lawrence.

"Aku merasa bersalah." Kabir berbisik perih. Ia melirik polisi itu dengan gurat kekecewaan bercampur amarah. "Setelah kematiannya harusnya dia mendapat keadilan. Tapi yang terjadi malah berkebalikan. Aku sungguh masih belum mengerti dengan keputusan konyol para penentu hukum itu." Seringaian jijik tanda menghina, Kabir tampilkan. "Secarik kertas tanda bunuh diri yang belum valid bisa dijadikan bukti bahwa Mr. Lawrence benar-benar mengakhiri hidupnya karena terlalu malu mengakui kesalahannya? Aku tidak bisa percaya. Bagaimana mungkin para hakim setuju akan bukti konyol itu dan memutuskan menutup kasusnya dengan mudah?"

"Hal itu mudah dilakukan, teman." Mata si polisi kini tertuju pada Zulfikar. Pria tua yang berpura-pura terpukul itu masih berjongkok di samping gundukan tanah kuburan sang menantu. Menangis sambil bergumam tidak jelas. "Setelah melihatnya sendiri, sekarang akupun tahu bahwa keluargamu juga bisa menjadi musuh terdekatmu."

"Ya, kau benar." Kabir sama-sama menatap tajam Zulfikar.

"Kabir, istrimu dari tadi mual-mual." Sang ibu datang mendadak di belakangnya. Terlihat panik. " Pergi dan lihatlah dia."

"Benarkah, bu? Di mana Azura? Kenapa malah ditinggal sendirian?"

"Oh-ho, jangan berteriak saat panik." Lengan Kabir sengaja ditampar. "Azura yang menyuruhku pergi untuk mencarimu. Katanya dia sudah tidak kuat untuk berdiri dan ingin pulang. Sudahlah, cepat ke mobil. Dia menunggumu."

"B-baik,bu. Aku pulang lebih dulu." Tergesa, Kabir berlari ke parkiran tempat mobilnya berada.

***

Dahinya terpenuhi keringat seukuran bulir jeruk. Wanita itu mendesah dengan kernyitan dalam saat merubah sedikit posisi duduknya. Kenapa perutnya yang tadinya mual berubah melilit begini? Azura bahkan sesak napas karena saking gelisahnya menunggu Kabir tak kunjung datang. Tangannya menopang di kaca jendela. Menahan sakit perut yang luar biasa. Pita suaranya seakan tersumbat. Ia kesulitan meminta tolong. Kumohon siapapun tolong aku. Azura melihat ke sekitarnya. Ia harus cari cara lain.

Dari luar ada satu pria yang merasa ada keganjilan dalam satu mobil yang mengeluarkan bunyi klakson panjang. Ia berjalan mendekati mobil berisik itu dan membuka pintu mobil pengemudi. Sosok wanita berambut panjang sudah terjatuh pingsan. Kepalanya menekan kemudi sehingga si pria kesulitan mengenali wajahnya. Secara hati-hati bahu wanita itu ditarik agar punggungnya bisa menyender pada jok. Si pria merapikan helaian rambut yang menutupi wajah wanita berwajah cantik itu. Lalu pria itu berubah membeku sepenuhnya, memandangi wajah wanita yang terpejam itu dengan desakan untuk memeluk saking rindunya. "Azura, kau ... " Pria yang memakai syal rajut di leher itu menggeleng keras. Menolak untuk bersikap sentimental. Sekarang tugas terpentingnya adalah membawa wanita ini ke rumah sakit. Ia perlu dirawat. Dilihat dari bibirnya yang pucat, sepertinya Azura tengah mengalami kondisi yang menggawat.

Si pria sigap membopong Azura. Setelah mendorong pintu mobil sampai menutup dengan ujung kakinya, si pria membawa Azura pergi bersamanya.

***

Kabir sampai di waktu yang terlambat. Ia membanting pintu mobilnya begitu frustasi. Karena kehilangan sang istri secara tiba-tiba. Dibukanya ponsel dan mulai menghubungi seseorang. "Ayolah, Azura. Angkat panggilanku," gumam Kabir sambil menggigit bibir bawah. Cemas.

Di kolong mobil, sebuah ponsel mengeluarkan bunyi. Kabir cepat-cepat berjongkok dan mengambil ponsel itu. Terkejut bahwa ponsel itu milik isrinya, Kabir mengumpat sambil menendang udara dan meluapkan emosinya dengan teriakan. Sial, sial, sial! Di mana istrinya saat ini?

Satu pikiran terburuk muncul. Apa istrinya itu diculik?

To be continued

Follow, vote dan komen jangan sampai lupa, ya 

PareshaanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang