Cewek itu masuk dengan wajah manyun. Membuang tasnya di atas tempat tidur. Mengikat asal rambutnya tergerai karena gerah. Lalu duduk dengan lesu dimeja belajarnya.
Alin membuang nafas dengan kesal, pipinya ia tempelkan di atas meja. Sementara matanya menerawang jauh. Alin menghela nafas panjang lagi, menolehkan kepalanya kesamping kiri. Mengerjap mengingat kembali apa yang tadi terjadi, lalu menghela nafas kesal lagi.
Tadi sepulang sekolah, tepat di depan gerbang, Nino membatalkan janjinya untuk pulang bersamanya dengan alasan mobil milik Rizal mogok dijalan, Nino langsung datang membantu temannya itu. Ninggalin Alin sendirian disana. Padahal Alin sengaja tidak pulang bersama Tiko, sepupunya yang bersekolah di SMK samping. Jadi, mau gak mau dia harus naik angkot. Rese kan ?
Nino memang seperti itu. Lebih mementingkan teman-temannya daripada dirinya. Mau protes yaaa gimana, dia bukan siapa-siapanya Nino.
Bukan siapa-siapanya. Dia bukan cowoknya. Nino bukan miliknya sendiri. Mereka tidak berpacaran.
Karena tidak ada ikatan diantara mereka.
Ah, kalo mengingat itu, membuatnya semakin kesal.
Hanya sebatas teman, tapi mesra ?
Cih.
Memang dirinya dan Nino tidak punya hubungan yang jelas. Mau bilang cuma teman, tapi kok saling perhatian sayang. Tapi kalo mau bilang pacar, juga bukan. Nino belum pernah menembaknya lagi setelah dulu dia meminta waktu. Tapi apa harus berbulan-bulan kayak gini dia disuruh nunggu.
Berati statusnya di gantung dong?
Kok ngeselin ya?
Suara getar dari hpnya membuatnya meraih dengan malas benda persegi panjang pipih itu, yang ia simpan di saku rok. Tanpa tenaga yang berarti dia menggeser tombol ijo di layarnya itu ke atas.
"udah sampai rumah?" kata Si Penelpon dari sebrang.
"udah, baru sampai," jawab Alin seadanya.
"Sorry yaaa, gue gak bisa anter Lo pulang tadi."
"Hm, gak papa. Gimana mobilnya?"
"Kayaknya sebelum pulang tadi udah ada montir datang kok."
"oh.."
"marah?"
"Gak kok. Udah sampai dirumah?"
"Belum, mampir di Alfa, Baru anterin Rizal dulu."
"Oh," Alin terdiam sejenak. "Em, No."
"Hn, apa?"
"Lo mau berangkat ke acara klub?"
"Iya. Nemenin Luna aja kasian tuh anak kalo gak ditemeni nanti ilang lagi di laut. kenapa?"
Alin terdiam, "gue mau datang..."
"hm? Kok tiba-tiba?" Ucap Nino yang sedikit heran, "Berangkat sama siapa kesananya?"
Alin berpikir sejenak, "Gak tahu. Cuma mau aja. Kan acara itu buat angkatan kita juga, klub lukis dikit yang kesana, gue mau wakili klub lukis."
"Sama gue kalo gitu," tawar Nino.
"Kan Lo udah sama Luna."
"Eh iya juga," ucap Nino yang baru teringat tentang itu. "Terus lu gimana? gue gak mungkin batalin. Tau ndiri kan Luna tuh kek apa. Bisa botak pala gue kalo sampek batalin janji."
Alin mendesah pelan, "ya kan."
"Jadinya gimana Lo?"
Pertanyaan dari Nino tidak Alin jawab dengan cepat. Meski Nino tidak tahu sekarang kini dia tengah mengembungkan pipi tembemnya. Lalu mendesah pelan, tak niat menjawab. Karena jujur dia bingung harus gimana sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
YOUR'S
Teen FictionAlin ingin sembuh dari masalalu dan Nino ada untuk itu. Tapi kedekatan mereka yang berbulan-bulan tanpa kepastian membuat Alin ragu. Hatinya yang masih diam. Atau. Nino yang tak sepenuhnya untuknya ? Sementara ada Satryo yang entah kenapa selalu bis...