TUJUH

63 10 0
                                    

"Kenapa Lo gak bilang kalo Lo mau pulang sama Alin?" Nino mengangkat wajah. Mendesah pelan meletakkan hpnya begitu saja.

Mereka kini berada di sunflowers cafe. Cafe yang memang tak jauh dari sekolah mereka. Mereka memutuskan mampir untuk beristirahat sebentar. Sebenarnya Luna ada janji sama teman-temannya disini. Dan Nino ikut memesan minuman untuk meredakan haus dan menunggu Virgo yang ada janji juga dengannya hari ini. Untuk bermain futsal.

"Kalo Lo bilang sebelumnya gue bisa pulang sama Kino atau yang lain," lanjut Luna menatap Nino. "Cih, kenapa bilangnya pas yang lain udah pergi?" gerutunya kesal. Ini gerutu yang sama selama perjalanan pulang yang diucapkan Luna.

"Lun," panggil Nino menarik perhatian Luna, "Lo mau sampai kapan ngomel kaya gitu mulu? Dari masih di pantai, di atas motor dan disini pun ngomongnya sama mulu. 10x kali kayaknya Lo ngomong gitu."

"Masa? Beneran segitu ? Lo itung dong? Hebat." Kata Luna kagum yang di buat-buat.

Nino mendengus, "sekarang gue tanya, Lo kenapa belum bisa damai?" tanya Nino.

"Damai, apa?" tanya Luna mengangkat alis tersentak, tak menyangka mendapat pertanyaan itu.

"Kenapa Lo masih belum biasa aja ke Aldo," ulangnya lagi. "Padahal semalam udah romantisan di atas panggung menari sambil nostalgia."

"Ck diem Lo, atau gue siram nih es coklat ke Lo."

"Jawab Luna, alasannya apa Lo bersikap gini?"

Luna terdiam. Mengalihkan wajah yang mulai berubah dengan merapatkan bibir. Lalu mendesah pelan dengan tak suka.

"Lun," panggil Nino kembali.

"Ck apa sih?" decak Luna tak suka.

"Kenapa belum bisa damai?" tanya Nino lagi.

"Ck. Kata siapa gue belum damai sama Aldo?" selanya membuat Nino tak berlanjut berkata. "Gue udah kok. Dan gue udah bersikap biasa aja tuh," belanya ngotot.

"Hilih," kata Nino tak percaya, membuat Luna mendelik. "Kalo Lo udah damai dan bisa bersikap biasa aja. Lo pasti mau pulang bareng Aldo, tapi tadi ? Cih!"

"Kan Lo yang minta gue pulang sama Lo. Gue gak ngomong gak mau tuh pulang sama Aldo."

"Tapi mata Lo yang ngomong."

"Mata gue punya mulut ya?"

"Lun." kata Nino mulai frustasi.

Luna terdiam kemudian mendecak yang tak lama matanya meredup setelah mendesah pelan, memainkan sedotan dalam minumannya, "Gue, udah berusaha damai dengan maafin dia kok," kata Luna pelan tak memandang Nino didepannya. "Jadi gak usah tanya-tanya itu lagi," lanjutnya menerawang jauh pada gelas berwarna coklat yang ia pandang.

"Emang apa yang dilakuin Aldo sampai Lo semarah ini?"

Luna mendecak tak tahan, "ck, apa sih Lo tanya gitu. Gara-gara Alin pulang sama Aldo?" katanya tak suka. "Cih, kenapa sih? Cemburuan banget. Padahal pacar aja gak," cibir Alin tak tahan.

Nino mendengus sesaat, "Gue tahu elo Lun, Lo gak pernah bisa benci orang," kata Nino sesaat, lalu melanjutkan " Jadi Gue penasaran apa yang Aldo lakukan ke elo sampai Lo benci dia."

"Kecewa No, kecewa itu yang bikin gue belum bisa. Kecewa karena sadar gue terlalu berharap tinggi dan hasilnya nol. Yang salah gue, tapi gue terlalu egois buat gak nyalahin dia."

Luna menghela nafas pelan, lalu tersenyum kecil, "pasti selalu ada alasannya kan? Lo pasti bisa ngira kenapa gue bisa jadi gini." katanya merunduk memainkan sedotan, mengalihkan wajah lalu menghela nafas. "Tentang apa yang dia perbuat, itu cuma bikin gue inget rasa sakitnya."

YOUR'STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang