P R O L O G

174 12 8
                                    

Entah masalah apa yang tengah semesta hadapi sekarang. Karena sepertinya malam ini ia tengah bersedih. Terbukti dengan turunnya hujan deras ini. Ditambah hembusan angin yang bertiup kencang seakan sedang menyapu dedaunan yang ada di bumi. Membuat seorang gadis yang sedang berteduh di halte mengeratkan kedua tangannya untuk menghalau hawa dingin ini.

Malam semakin larut. Tempat yang semula ramai dengan orang orang berteduh, kini hanya tinggal ia saja di sana. Jalanan mulai sepi. Lampu jalan mulai terlihat meredup. Namun tangisan semesta tak kunjung berhenti. Dan ia masih terjebak di sini.

Gadis itu merogoh sakunya, mengeluarkan benda pintar miliknya. Mengotak-atiknya sejenak sebelum suara seorang laki-laki terdengar dari sana.

"Kenapa?" ujar seseorang di sebrang sana tanpa basa-basi.

"Kamu bisa jemput aku nggak? Hari ini Ilang nginep di rumah temennya. Aku nggak bisa pulang karena terjebak hujan," tuturnya berharap laki-laki bernama Jenggala bisa menjemputnya dan membawanya pulang.

"Nggak bisa."

Dua kata. Hanya dua kata namun bisa membuat pundaknya merosot saat mendengarnya. Kenapa sekarang rasanya begitu sulit untuk sekedar meminta bantuan kepada pacarnya sendiri?

Iya, seorang Adyan Jenggala Dirgantara adalah laki-laki yang berhasil mengisi ruang hatinya selama kurang lebih 3 tahun lamanya. Namun entah badai apa yang membuat laki-laki manis itu berubah sedemikian rupa menjadi manusia tidak memiliki perasaan. Mungkin hanya kepadanya saja Jenggala bersikap seperti ini. Tapi tetap saja, pasti ada alasan dibaliknya bukan?

"Minta Bara aja yang jemput. Gue lagi ada urusan," sambung Jenggala terdengar ketus di telinganya.

"Emang kamu lagi ngapain sampai gak bisa jemput ak—" ucapannya terhenti begitu saja saat tiba tiba seseorang di sebrang sana menyahut.

"Jenggala ayo makan! Aku udah laper banget nih."

Ia mendengar dengan jelas bahwa itu suara seorang perempuan. Dan ia yakin sekali bahwa perempuan itu adalah Amara. Seseorang yang Jenggala bawa masuk dalam hubungan mereka. Iya, Amara adalah orang ketiga dalam hubungannya.

"Lagi sama Amara ya?" tanyanya melupakan perihal pertanyaan sebelumnya.

Jenggala hanya berdehem menjawabnya. Seolah malas menanggapinya.

"Sepenting apa sih Amara di hidup kamu? Sampai aku yang pacar kamu aja nggak kamu peduliin."

"Udah deh nggak usah mulai. Gue lagi nggak pengen ribut," sahut Jenggala kesal. Apapun yang bersangkutan dengan Amara, pasti akan dipermasalahkan dan berakhir dengan bertengkar.

Namanya Gemintang, namun teman temannya lebih suka memanggilnya Gemi. Arti namanya adalah Bintang. Tapi entah kenapa ia tidak bisa seterang bintang yang lain. Cahaya nya seolah dipaksa untuk meredup dan hadirnya dipaksa untuk bersembunyi agar tidak menghalangi.

"Kalau mau pulang, telfon Bara aja kaya biasanya. Nggak usah ngerepotin gue!"

"Tapikan—"

"Nggak usah manja!"

Setelahnya sambungan telfon pun terputus. Jenggala mengakhirinya secara sepihak. Lagi lagi cowok itu membiarkannya begitu saja seakan Gemintang bukanlah orang istimewa. Gadis itu terkekeh ringan menyadari apa yang sedang ia pikirkan saat ini.

"Lo emang bukan orang istimewa. Kenapa nggak pernah nyadar sih," ujar Gemintang pada dirinya sendiri.

Tangannya kembali mengotak-atik ponsel. Mencari nama seseorang dan mulai menghubunginya.

"Hallo?" sapanya pada gadis itu.

"Bara, lo lagi sibuk nggak?"

Laki-laki itu bernama Bara. Cowok yang selama ini kerap Gemintang mintai bantuan. Karena setiap ia meminta apapun kepada Jenggala, cowok itu selalu menyuruhnya untuk melefon Bara.

TEAMOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang