BAB 6; Rencananya Gini

37 9 3
                                    

Terkadang untuk memulai awal baru kita harus bisa melupakan masalalu. Ah, bukan melupakan lebih tepatnya mengiklaskan. Karena ketika hati kita sudah iklas maka kaki kita akan lebih terasa ringan saat melangkah maju.

Sekitar pukul 05.35 pagi Gemintang sedang asik ngobrol dengan Raina membahas ulangan harian mapel Matematika nanti saat di sekolah. Sambil memasukkan buku-bukunya ke dalam tas, Gemintang menjepit ponselnya di antar bahu dan telinga.

"Aduh kalau nanti gue nggak bisa jawab soalnya gimana dong, gue nggak mau remidi." Rengek Gemintang. Khawatir dengan hasil ulangannya nanti.

"Lo ngomong kaya gitu lagi gue gampar ya mulut lo," ancam Raina dari seberang sana.

"Setiap kali mau ulangan lo tuh selalu ngeluh nggak jelas kaya gini tau nggak. Tapi apa hasilnya? Nilai lo selalu di atas rata-rata, anjir. Sedangkan gue yang dapet 6 biasa aja."

Raina heran dengan orang-orang yang mempunyai otak cerdas. Apa mereka tidak sadar kalau nilai mereka sudah begitu sangat lebih baik dibandingkan dengan golongannya yang memiliki otak setengah. Tapi bisa-bisanya mereka masih mengeluh karena nilanya turun satu angka.

Ya Allah biha, rasanya Raina ingin menangis tersendu-sendu di bawah pohon beringin sambil meratapi nasibnya.

Sedangkan Gemintang malah nyengir mendengar ujaran temannya. "Tapi hari ini gue beneran belum belajar sama sekali Na."

"BODO AMAT!! Mau lo belajar apa kagak gue nggak perduli, karena nilai lo tuh nggak pernah turun!"

"Dih, gak jelas banget. Lo sendiri gimana? Udah belajar?" tanya Gemintang.

"Gak. Gue nyontek lo aja. Gue nyerah kalau sama Matematika, soalnya mematikan," jawab Raina membuat Gemintang terkekeh.

"Yaudah gue mau sarapan nih. Gue matiin dulu ya, kita ketemu di sekolah."

"Oke siap."

Setelah percakapannya dengan Raina selesai, Gemintang berjalan menuruni tangga menuju meja makan dimana di sana sudah ada Gemilang dengan sepotong roti bakar di tangannya.

Gemintang cuek saja. Ia tetap fokus pada ponselnya karena tiba-tiba sinyal wifi di sana menghilang. Gadis itu menatap Gemilang dengan malas.

"Ilang," panggilnya membuat Gemilang menoleh.

"Listriknya mati ya?"

"Nggak."

"Kok di hape gue sinyal Wifi-nya nggak ada?" Gemintang terus mengotak-atiknya berharap ada yang salah dengan ponselnya.

"Barusan password-nya gue ganti," jawanan santai Gemilang membuat Gemintang menoleh.

"Kenapa lo ganti?"

"Nggak papa. Gue bosen sama password lama."

Astaghfirullah. Rasanya Gemintang ingin mencabik-cabik wajah sok ganteng Gemilang. Mimpi apa Mamanya dulu sampai bisa melahirkan anak onyet seperti Abangnya ini.

"Gini ya, Gemilang Radja Nathera. Gue tau gue tau banget kalau lo gampang bosen sama cewek. Gue juga tau kalau lo hobi gonta-ganti cewek. Tapi masalahnya gini lho, gimana ya gue ngomongnya. Emm.. gimana ya."

"Kalau ngomong tuh yang jelas dong. Apanya yang gimana?" Gemintang tersenyum sangat manis.

"Gimana kalau lo mati aja? Lo pikir lo siapa main ganti password, hah? Asal lo tau yang pasang wifi dirumah ini itu Bapak gua, ngerti nggak?!"

"Bapak gue juga keles," ujar Gemilang sewot.

"Tapikan lo—"

"Ada apaan dah, pagi-pagi udah rame aja." Arga Nathera, Papa Gemintang muncul sambil menenteng tas kantornya.

TEAMOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang