ILUVIA || 3. Ineffable

416 116 87
                                    

Karena ada banyak hal yang tak mampu diungkapkan melalui kata-kata.

Pagi di hari weekend ini terlihat mendung, membuat siapa saja bergegas memilih berteduh sebelum air tersebut terjun dari langit dan mengguyur kota

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi di hari weekend ini terlihat mendung, membuat siapa saja bergegas memilih berteduh sebelum air tersebut terjun dari langit dan mengguyur kota. Sepertinya memang sudah memasuki musim penghujan.

Sementara seorang gadis tengah berlari santai mengelilingi taman kompleks dan tidak memperdulikan cuaca yang tidak mendukung. Saat dirasa sudah cukup, dia duduk disalah satu kursi taman.

Tempat itu tampak sepi lantaran gerimis sudah mulai turun. Gadis itu—Anza—masih tetap pada posisi duduknya sembari menengadahkan kepala dan menutup mata, menikmati rintikan air yang menerpa wajahnya. Curah air yang semakin deras tidak lantas membuatnya berteduh.

Anza yang merupakan pluviophile tentu tidak menyia-nyiakan kesempatan menikmati hujan seperti ini.

"Neduh, Za."

"Iya nanti," sahut Anza masih pada posisinya tanpa perlu berteriak agar suaranya dapat didengar Zana, karena hantu mungil itu sudah duduk di samping Anza, dan menempel bak perangko.

"Ck, dasar kepala batu."

Anza menegakkan punggungnya dan menyandar pada bangku taman. Menatap Zana yang juga tengah menatapnya. "Dapet info apa?"

"Cowok manis itu namanya Bimo," jawab Zana yang memang dari kemarin selalu keluyuran mengikuti ke mana laki-laki bernama Bimo itu pergi.

"Bimo?"

"He'em. Dia lucu," ceritanya sambil tersenyum mengingat. Senyum malu-malu lebih tepatnya.

Anza yang melihat senyum itu pun ikut tersenyum geli. "Jangan berlebihan. Sesuatu yang berlebihan itu nggak baik," ujarnya mengingatkan.

Zana menoleh. "Aku tau batasannya. Aku juga nggak ganggu dia kok."

"Anak pinter." Anza tersenyum, berniat mengusap surai Zana namun malah terkejut sendiri.

"Aku lupa kamu setan," ujarnya menepuk kening dan terbahak.

"Setan paling cantik," ucapnya bangga yang juga ikut tertawa.

"Jadi, ketua BRADIZ yang sekarang kamu udah tau?" tanya Anza setelahnya.

"Aku cuma ngikutin Bimo ke rumahnya. Selama aku ngikutin, dia nggak ada kumpul sama anak BRADIZ, tapi yang pasti ketuanya bukan Bimo," cerita Zana.

"Ada sih satu orang yang kucurigai walaupun belum yakin. Nanti aku ikutin dia deh," sambungnya yang hanya diangguki Anza sebagai respon.

Hening cukup lama karena keduanya sibuk pada pemikiran mereka masing-masing sembari menikmati terpaan air yang mengguyur tubuh.

Sampai Zana kembali bersuara, "Taman ini keliatan nggak asing."

Anza yang mendengarnya langsung tertarik. "Oh ya? Kamu sering-sering ke sini makanya! Barangkali kamu inget pernah ngunjungin tempat ini waktu masih hidup."

"Nggak bisa, sekarang aku sibuk," jawab Zana dengan tampang serius membuat Anza mengernyit heran.

"Sibuk apa?"

"Sibuk ngintilin mas crush."

Anza nyaris ingin menjambak rambut hantu yang umurnya tidak bisa bertambah itu, namun tertahan mengingat ia tidak bisa menyentuhnya. Menghela napas lelah, tidak sanggup membayangkan bagaimana Anza menghadapi hantu yang sudah memiliki crush itu.

Mau heran, tapi hantu itu Zana.

~•~

Laki-laki itu turun dari motor trail hitamnya, menapakkan kaki di pelataran rumah. Rumah besar bercat putih itu tampak menyeramkan seperti tak berpenghuni. Melanjutkan langkah memasuki rumah, ia hanya disambut oleh keheningan.

Selalu seperti ini.

Semenjak kejadian beberapa tahun lalu yang sangat membekas hingga menciptakan penyesalan dalam diri mereka.

Tidak ada lagi tegur sapa di rumah ini.

Mereka sama-sama menyibukkan diri dengan kegiatan masing-masing seolah-olah berusaha melupakan kejadian itu.

Dia mendudukkan diri di ruang makan. Melihat adanya lauk-pauk yang sepertinya baru selesai dibuat.

Ibunya memang masih menyiapkan hal-hal seperti ini, lebih tepatnya, tetap berperan sebagai ibu rumah tangga. Namun akan tak acuh pada hal-hal yang berkaitan dengannya.

Sama seperti ayahnya.

Memikirkan bagaimana caranya agar keluarga mereka kembali utuh membuatnya tidak memiliki nafsu makan. Dia bangkit dan mengambil kunci motor yang ada di atas meja makan tadi.

Mengotak-atik ponselnya sebentar sebelum akhirnya mengendarai motor menuju suatu tempat yang masih sering ia kunjungi sampai sekarang.

Pemakaman umum.

Keluarganya kacau saat mereka kehilangan salah satu anggotanya. Saling menjauh untuk menghilangkan rasa penyesalan adalah jalan yang mereka pilih. Tanpa mereka sadari, ada sosok yang terbelenggu akibat jalan yang mereka pilih itu.

Laki-laki itu mendekati sebuah makam yang sepertinya baru saja dikunjungi, terbukti dari adanya setangkai mawar putih segar yang diletakkan di atas gundukan tanah itu.

Menatap batu nisan yang terukir nama indah diselipkan dengan marga yang sama seperti miliknya.

Kedua tangan yang ia masukkan ke dalam saku celana itu mengepal, seperti ingin melampiaskan sesuatu namun tertahan, matanya menyorot redup dengan rahang yang mengeras dan bibir terkatup rapat, lidahnya terlalu kelu untuk sekedar berbasa-basi menyapa.

Hembusan angin yang sedikit mengusik rambut hitam legamnya tak lantas membuat dirinya terganggu. Banyak yang ingin ia sampaikan, namun tidak mampu. Tidak akan cukup jika hanya melalui kata-kata.

10 menit berlalu tanpa adanya perubahan sampai akhirnya laki-laki itu beranjak pergi. Tidak menyadari bahwa gerak-geriknya sedari tadi dipantau oleh sepasang mata yang memandangnya dengan raut bingung bercampur rumit.

~•~

A/n:

Ineffable: tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata

ILUVIA [REPUBLISH]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang