Manusia masih bisa ngilang dan balik lagi buat ngulang. Tapi kalo Tuhan, nggak akan pernah ngilang karena nggak ada yang namanya mengulang.
Matanya menyipit saat tak sengaja melihat Zana yang tengah duduk di bangku taman sekolah."Kalian duluan aja, gue mau ke toilet bentar," ujar Anza hendak berbelok arah.
"Tapi bentar lagi masuk, Za." Ara mengingatkan.
Jane melirik jam yang bertengger di pergelangan tangan kirinya. "Iya, mau bel nih."
"Bentaran doang," ujar Anza meyakinkan keduanya.
Anza berbelok arah menuju toilet yang akan melewati taman belakang. Tujuan utama sebenarnya adalah taman untuk menghampiri Zana. Gadis itu mengernyit heran saat melihat Zana tidak sendirian, sedang bersama siapa?
Kedua sosok itu tiba-tiba berbalik ke arah Anza membuat Anza berjingat kaget hingga termundur beberapa langkah.
"Aduh!" Anza terpekik ketika tak sengaja menabrak sesuatu di belakangnya. Dia berbalik memastikan dan matanya langsung melebar kaget begitu melihat siapa yang tidak sengaja ditabraknya.
"M-maaf." Anza membungkukkan badannya meminta maaf.
"Liat apa?" tanya Zaga berjalan melewati Anza untuk melihat apa yang gadis itu lihat sampai membuatnya terkejut, namun tidak ada hal aneh apapun di taman.
"Hantu," cicit Anza pelan.
Alis lelaki itu bertaut. "Nggak ada hantu siang begini."
"Ada! Itu di–" Anza yang hendak menunjuk pada kursi taman itu seketika terhenti. Hampir saja dia keceplosan.
Zaga mengikuti arah pandang Anza, menaikkan sebelah alisnya tanda mengerti sesuatu. "Di mana?"
"Ah, enggak. Kayaknya gue ngelantur tadi," ujar Anza mengibas-ngibaskan tangannya ke udara, hal itu juga agar menghalau penglihatannya ke arah kursi taman.
"Za, bel udah bunyi tuh," beritahu Zana yang sebenarnya tidak ingin merusak keadaan.
Anza langsung pamit pada Zaga. "G-gue duluan, ya!" Dan berlari secepat kilat meninggalkan taman tanpa menunggu respon lelaki itu. Sebisa mungkin dirinya tidak membuat masalah atau berurusan lagi dengan ketua BRADIZ tersebut.
Anza hanya ingin hidup tenang, cukup para hantu gentayangan saja yang membuatnya repot.
Koridor tampak lengang, hanya ada beberapa murid yang masih duduk di depan kelas, menunggu guru masuk agaknya.
Anza memelankan langkahnya begitu melihat teman-temannya sedang duduk lesehan di depan kelas, lebih tepatnya seperti anak terlantar.
"Lama banget, sih? Untung jamkos." Ara mengomel pada Anza yang baru sampai dan langsung menyeruak di antara Jane dan Ara yang tengah duduk lesehan dan bersandar pada tembok.
"Sempit, heh," keluh Jane terjepit karena di samping kirinya terdapat Rima si bongsor yang sedang fokus mabar dengan anak laki-laki lainnya.
Anza mengatur napasnya. "Percuma gue lari."
"Yang nyuruh lari juga siapa?" tanya Jane.
"Kan antisipasi," ucapnya membela diri.
Ara mengulang pertanyaannya dengan sabar. "Kenapa lama?"
"Perasaan nggak lama kok," jawab Anza menyangkal.
"Bener, masih lebih lama lagi perasaan gue yang nggak ke-notice-notice sama doi," sahut Jane melantur.
Ara memicing curiga. "Doi yang mana neh?"
"Lo kira doi gue ada berapa? Crush gue dari dulu nggak berubah ye, setia nih gue!"
Anza mencibir pelan. "Setia apaan liat yang bening dikit lewat langsung oleng."
"Ck, cuci mata doang, Za, mubazir lah ciptaan Tuhan gitu disia-siain. Tapi gue masih stay kok sama yang lama," ucap Jane sungguh-sungguh.
"Udah cinta pandangan pertama, mana jadi secret admirer pula." Anza merasa prihatin mengingat kisah cinta sahabat sedari kecilnya itu.
"Temboknya tinggi banget euy, sadar diri." Ara juga ikut menyahut begitu tahu siapa crush yang dimaksud Jane.
"Sutttttttt. Tuhan lagi nguji gue, antara setia sama penciptanya atau ciptaannya," ujar Jane berlagak sok bijak.
Anza merangkul Jane. "Definisi nge-crush-in elit, confess sulit."
Yang langsung disambut pekikan heboh dari Ara. "JIAKHHH LANGSUNG MENUSUK JANTUNG TEMBUS KE EMPEDU."
Jane sendiri hanya pasrah, mau mengelak tapi benar adanya. Kalimat Anza ditambah pekikan Ara adalah satu kesatuan yang hakiki, dan korbannya? Selalu Jane!
"Jadi, udah bisa milih, kan?" tanya Ara melanjutkan.
Jane tersenyum kaku. "Ya jelaslah. Lagian dia nggak tau gue."
"Kita hampir mirip, sih. Tapi masih mending elo yang bisa ngeliatin secara langsung, secara nyata. Lah gue? Boro-boro!" ucap Anza malah mengadu nasib.
"Resiko terlalu nekat mencintai bias emang gitu," celetuk Ara tidak heran dengan ucapan Anza.
"Gue liat tadi kelas mereka free, toilet kuy." Anza bangkit dari duduknya.
"Lo kan udah dari sana, ngapain lagi?" Ara mengernyit heran.
Anza mengerjap. "Bantuin temen lah, cuci mata." Ia melirik Jane yang juga sedang memandangnya, kemudian menarik tangan kedua sahabatnya itu hingga berdiri.
Senyum Jane mengembang lebar begitu mengetahui maksud Anza. "Pengertian banget sih lo."
"Sebanyak apapun ngeliat cogan, tapi kalo belum ngeliat crush sendiri rasanya tetep aja nggak puas, kayak masih ada yang kurang," sahut Ara yang diangguki setuju oleh Jane.
"Suka boleh, tapi jangan sampe ngelupain Tuhan. Sekedar ngeliat dari jauh, nggak masalah, kan?" ucap Anza mampu membuat langkah Zeta semakin ringan.
Setidaknya mengagumi dalam diam lebih baik ketimbang mengakuinya terang-terangan dan jatuh semakin dalam, padahal sudah tahu ending-nya akan suram.
~•~
Lelaki itu berdecak pelan sesaat setelah berhasil berinteraksi dengan gadis itu.
Caranya meminta maaf, ekspresinya ketika linglung yang kentara sekali tengah menyembunyikan sesuatu, sampai saat gadis itu pernah mengomel walau bukan padanya. Membuatnya semakin tertarik. Ingin melihat lebih banyak ekspresi yang teramat jarang gadis itu tunjukkan.
Netranya menatap lurus ke depan tanpa mau repot-repot melirik sekitarnya. Terlalu membuang-buang waktu untuk hal yang tidak menarik. Hingga lelaki itu sampai pada tempat tujuannya, rooftop. Membuka pintu dan langsung disambut celetukan dari orang-orang yang sudah lebih dulu berkumpul di tempat itu.
"Gue kira lo nggak jadi ikutan bolos, Jak."
Yang menjadi pusat perhatian teman-temannya hanya mencari tempat nyaman untuk mendudukkan diri tanpa berniat membuka suara. Mereka sibuk kembali, membiarkan lelaki itu larut pada dunianya sendiri.
"Sesekali egois buat diri sendiri nggak masalah, lo juga perlu bahagia kali."
Kalimat yang sebenarnya bukan ditujukan padanya itu menyentak pelan kesadarannya. Melihat Veto baru saja berkata demikian pada Bimo yang sedang meminta pendapat.
Egois, ya?
~•~
A/n:Adronitis: kondisi di mana kamu sedang frustrasi karena tidak bisa mengenal lebih dekat dengan seseorang yang sudah lama kamu kenal.
KAMU SEDANG MEMBACA
ILUVIA [REPUBLISH]
Fiksi RemajaAnza tak pernah menyangka jika pertemuan pertamanya dengan sesosok gadis mungil di gubuk tua itu membuatnya harus menjalani hidup yang berbeda dari anak seusianya. Menjadi gadis indigo bukanlah kemauannya. "Mau heran, tapi hantu itu Zana." Merupak...