Sederhana, namun mampu membuat hati porak-poranda.
Suasana kantin tampak lengang, ketiga gadis yang tengah menyantap makanan mereka juga hanya diam, tidak seperti biasanya.Ara yang pada dasarnya tidak bisa kalem barang sejenak pun berusaha mati-matian menahan diri untuk tidak nyeletuk. Suasana hati sahabat yang duduk di sampingnya ini sepertinya sedang tidak baik, Ara tidak ingin celetukan recehnya nanti malah semakin membuat gadis itu terusik.
Ara berusaha memberikan kode melalui mata pada Jane yang kebetulan menatapnya penuh tanya. Ia melirik Anza kemudian berganti menatap Jane membuat Jane akhirnya paham.
"Veto gimana, Za?"
Pertanyaan dari Jane itu berhasil mengalihkan atensi Anza dari kegiatannya mengaduk-aduk kuah soto dengan wajah tanpa minat.
"Udah baikan."
Melihat Anza yang tampaknya tidak terganggu akan pertanyaan itu membuat Ara berusaha keras memancing topik. "Kapan masuk tuh anak?"
"Mungkin besok, dia udah di rumah kok."
"Mulut gue gatel nggak adu bacot sama dia. Mau jenguk tapi nanti dia malah tambah sakit ngeladenin gue," ucap Jane yang langsung mendapat pelototan dari Ara.
"Lo liat sikon makanya, segala orang sakit mau lo ajak gelut."
"Ya... gimana, ya? Sehari tanpa direcoki sama ngerecoki Peto tuh kayak ada yang kurang gitu."
Anza menopang dagu malas. "Nyariin kan lo? Definisi cinta datang karena terbiasa itu mah."
"SKAKMAT LO!" seru Ara sampai menggebrak meja. Ia menunggu saat-saat Anza akan mengatakan kalimat itu untuk menyadarkan Jane, karena dia sendiri tidak seberani itu mengeluarkan pendapatnya pada Jane.
Anza akan berkata dengan tenang tanpa berniat menyindir seakan kalimat itu keluar alami dari mulutnya, membuat sang target yang merasa tersinggung pun tidak bisa marah.
Akibatnya, Jane hanya bisa mendelik tak terima. "Yakali gue suka Peto."
"Inget banget gue kemaren lo sampe nekat mau bolos buat ikut ke rumah sakit," ujar Ara kembali mengompori.
"Heh, sebagai sesama temen pasti khawatir lah temennya kenapa-napa. Kalo gue nggak masuk sekolah tanpa kabar lo juga nyariin, kan?!"
Ara mengangguk ragu, tapi sejurus kemudian berkata, "Tapi ini kasusnya beda! Beda orang, beda kondisi, beda cara nanggepinnya."
Anza yang hendak menyela perdebatan mereka pun seketika tersentak kaget begitu mendengar suara benda terjatuh cukup keras.
Menoleh pada asal suara, di mana terlihat ada tiga orang yang Anza kenal. Vito, Zaga, dan Bimo. Dengan dua siswi yang berada di sekitar mereka.
Salah satu siswi itu terduduk dengan nampan berisi semangkuk bakso yang telah ikut terjatuh dengan mengenaskan di lantai. Tampak temannya membantu siswi itu, dibantu Bimo yang ikut menolong.
"Lo sih, Jak." Bimo terlihat mengomel pada Zaga yang langsung pergi dari tempat itu tanpa kata.
Namun sebelum itu, Anza dapat menangkap samar raut tak nyaman yang Zaga tunjukkan.
"Liat si Zaga. Bener-bener nggak tersentuh banget auranya," celetuk Jane yang juga melihat semua kejadian tadi.
"Perkara apaan sih?" tanya Ara saat Vito memilih bergabung dengan mereka, diikuti Bimo tentu saja.
Bimo menjawab, "Yang jatoh tadi itu niatnya sebenernya baik, mau ngasih Zaga makanan biar nggak perlu repot-repot beli lagi. Tapi caranya yang salah, kesannya kayak maksa. Sampe narik tangan Zaga buat nerima nampan yang dia kasih. Zaga yang emang nggak suka disentuh refleks nepis tangan itu, eh si cewek malah jatoh, padahal gue liat nepisnya pelan. Untungnya nggak sampe ngelukai tu cewek."
"Ohh, fans-nya Zaga?" tebak Jane dan diangguki Bimo.
Ara geleng-geleng kepala. "Gila, makin agresif aja mereka. Dikira Zaga artis kali, ya."
"Anak-anak BRADIZ emang famous sih, wajar lah," sahut Bimo songong, langsung mendapat geplakan dari Jane yang kebetulan duduk di sebelah laki-laki itu.
"Lo doang yang enggak."
Anza tertawa miris dalam hati. Belum tahu saja Jane kalau fans Bimo bahkan sampai ada yang beda alam.
~•~
Ingatan Anza kembali melayang pada kejadian di rumah sakit kemarin. Rasa menyiksa itu masih membekas sampai sekarang. Rindu beradu dengan pilu.
Anza sadar sewaktu di kantin tadi kedua sahabatnya berusaha mencairkan suasana, walaupun mereka tidak bertanya Anza kenapa, karena mereka tahu ia belum siap untuk bercerita.
Menatap wajahnya yang terpantul pada cermin di hadapannya, kedua tangannya memegang erat pinggiran wastafel. Setelah beberapa menit berdiam diri, Anza lalu beranjak keluar dari toilet.
Meragu sejenak, membiarkan segala pemikiran buruknya kembali mengambil alih selagi ia berjalan menuju kelas. Menerka-nerka kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi di rumah sakit saat ini.
Ketika bahunya ditepuk dua kali dari samping, barulah Anza memperoleh kesadarannya kembali. Gadis itu menoleh pada lelaki jangkung yang barusan menepuk pundaknya.
"Jangan melamun."
Baru saja akan mengangguk, matanya tanpa sengaja mendarat di tangan lelaki itu. Dia segera mengambil pergelangan tangan itu dan menatap punggung telapak tangannya yang memerah.
"Tangan lo kenapa?" tanya Anza memperhatikan dengan teliti.
Ada sebagian kulit yang terkelupas, seakan telah digesek oleh sesuatu dengan begitu kuatnya. Anza meraih tangan yang satunya dan melihat hal serupa.
Untuk sesaat Zaga termenung. Merasakan kedua tangannya dielus oleh tangan lain dengan lembut. "Nggak papa," jawabnya.
"Ini pasti sakit, kan? Ayo gue obatin," ajak Anza menarik tangan Zaga tanpa menunggu respon dari lelaki itu.
Anza membawanya ke UKS dan meminta salep pada penjaga UKS. Menyuruh Zaga untuk duduk di atas ranjang UKS sementara Anza memakaikan salep pada tangannya secara bergantian.
"Ini kalo nggak diobatin bisa jadi infeksi." Anza tidak akan bertanya lebih untuk tahu kenapa tangan lelaki tersebut bisa sampai seperti itu.
Zaga hanya diam menurut. Ada rasa menyenangkan ketika mendapat perhatian kecil dari gadis itu. Melihat betapa fokusnya Anza mengobati tangannya, membuatnya nekat berandai, bolehkah seluruh perhatian dan fokus gadis itu hanya tertuju padanya?
~•~
A/n:
Kairosclerosis: situasi saat seseorang sedang merasakan kebahagiaan dalam hidupnya. Saking bahagianya, muncul keinginan untuk menghentikan waktu agar dapat merasakan momen bahagia itu lebih lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
ILUVIA [REPUBLISH]
Novela JuvenilAnza tak pernah menyangka jika pertemuan pertamanya dengan sesosok gadis mungil di gubuk tua itu membuatnya harus menjalani hidup yang berbeda dari anak seusianya. Menjadi gadis indigo bukanlah kemauannya. "Mau heran, tapi hantu itu Zana." Merupak...