6. Gengsi

58 51 60
                                    

Senin, hari yang paling tidak di tunggu sejuta umat di negara ini, hari yang menjadi batas kita bersenang senang, hari yang bahkan menjadi paling egois karena menghadirkan yang namanya upacara.

Pagi ini harusnya hujan, itu yang aku harapkan, aku tidak mau berdiri lama lama di tengah lapangan apalagi di bawah terik matahari, bukan berarti kecintaanku pada negara ini tidak ada, kita cinta Indonesia, tapi jika hari ini matahari menjadi sangat tidak pelit untuk memancarkan sinar, itu yang membuatku malas.

Apalagi jika ceramah pembina upacara sangat lama, bahkan bagi kita, itu lebih lama lagi dari upacara kematian, aku rasa jika ceramah itu berbelit belit tapi tidak sampai pada inti dan tujuannya, itu percuma, hanya membuat penceramah kehabisan suara, hhh itu yang aku pikirkan.

Aku berdiri di barisan paling depan, karena aku tinggi, dan juga tampan, tentu saja tujuanku untuk menarik perhatian cewek cewek di sekolah ini, meskipun aku tidak tertarik pada mereka.

Tapi itu gagal, karena seseorang di depan sana sedang memegang bendera di tangannya, Ara, iya dia.
Dia membuatku gugup dan tak bisa terlihat "cool," entah apa yang terjadi padaku, apa aku malu dengan kejadian saat berkemah waktu itu? Atau ada hal lain yang membuatku tak mau dia melihatku.

"El, maju sini gantiin gue!" aku memanggil Elang yang tepat berada di belakangku.

"Napa lo Al?, kayak takut ketahuan mencuri ikan asin aja" celetuk Devan yang berdiri di sampingku.

Meskipun aku tahu, Ara tidak akan melirikku, bahkan tiga detik saja, tapi kenapa aku harus bersembunyi darinya.

"Oooo ada neng Ara atuh" Elang paham dengan pikiranku, dia segera menggantikan posisiku.

Upacara telah di mulai, pada saat pengibaran bendera, sekalipun aku sudah pindah barisan, tapi tetap saja rasanya aku tidak mau berada di sini.

Rambut Ara yang terikat rapi, kakinya melangkah sangat teratur, wajah itu, aku mengaguminya, apakah ini yang namanya karma karena telah menolak dia? Tapi lagi lagi, aku tidak sedang jatuh cinta padanya, hanya hati ini bingung dengan apa yang sedang terjadi. Sejak aku pulang dari perkemahan lalu, aku tidak lagi bersikap dingin padanya. kita punya cerita yang sama, tentang orang tua yang menjadi diktator dalam masa remaja ini.

Seperti biasa, setelah upacara selesai,  barisan tidak langsung di bubarkan, razia rambut di lakukan setiap satu bulan sekali, tidak ada masalah dengan rambutku, tapi dengan rambut Devan yang sudah mulai gondrong.

"Mimpi buruk apa gue semalem, kenapa ada razia coba?" ucapnya sambil membenarkan rambutnya dan di tutupi topi berwarna abu abu itu.

"Lagian udah satu bulan, masak lo gak ingat?, kecuali...." aku menggantungkan kata kataku.

"Kecuali apa?" tanya Elang padaku.

"Kecuali mau jadi bagian dari klan Jamet Kuproy" lanjutku dan sontak membuat Devan menendang pantatku.

Aku aman, Elang juga aman, kita berdua berhasil lolos dari razia itu, tapi Devan harus pasrah menjadi bagian dari barisan itu.

Kulihat Ara berjalan di sebelah Anggi, aku ingin menyapanya tapi kaki ini enggan untuk melangkah, hanya melirik sejenak dan berusaha mengejar dia yang melangkah mendahuluiku.

Elang yang merasa aneh dengan tingkahku, dia sadar aku sedang memikirkan Ara, cowok satu ini memiliki tingkat kepekaan yang tinggi, seperti kelelawar yang tak bisa melihat namun bisa mendengar, bahkan dia bisa mencari makan meskipun tidak bisa melihat, itulah Elang, dia sangat peka dengan apa yang terjadi dengan orang di sekitarnya, hanya saja tidak peka dengan dirinya sendiri.

"Ara! dipanggil Alan" mendengar Elang memanggil Ara dan atas namaku, aku segera menutup mulutnya.

Ara hanya tersenyum miring saat melihat aku dan Elang, lantas dia pergi setelah melambaikan tangannya.

Bego Not StupidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang