Pagi hari, awan di ufuk timur sana sudah mulai bercahaya karena mentari kembali hadir, sejak hari ini, akan menjadi hari terburuk bagi Ara, karena dia harus membantu orang yang pernah menolaknya berkali kali, bahkan rasa benci itu harus di pendam hanya demi dia. Alan.
"Pagi nek" sapa Ara pada neneknya yang sedang mengelap kaca jendela rumahnya, dia berjalan dengan sangat lesu, matanya masih sembab karena menangis semalaman, bukan karena dia ditolak lagi, tapi kali ini karena dia dijodohkan dengan orang yang bahkan Ara tidak ingat dia siapa.
"Tumben bangun pagi?"
Begitulah, ada kalanya menjadi remaja selalu salah dimata orang tua, kadang saat bangun siang, mereka akan berkata 'bangun siang terooos, bantuin orang tua kapan?' Saat bangun pagi mereka akan bertanya seolah olah itu adalah hal aneh dan langka.
"Ara hari ini kan sekolah nek" jawab Ara lesu sambil melangkah menuju kamar mandi.
Tiga puluh menit berlalu, butuh waktu selama itu untuk seorang remaja cewek bersiap kesekolah, terkecuali mereka yang sering bangun kesiangan dan memilih mandi, berseragam, dan mengikat rambut.
"Ara berangkat nek" ucap Ara berpamitan dan segera menutup pintu.
"Gak sara...dasar bocah, orang tua belum bilang iya udah main kabur aja" dumel nenek Ara karena cucunya tidak sarapan hari ini.
Di pinggir jalan, Ara menunggu angkot untuk membawanya ke sekolah, dia masih berdiri menunggu kapan sebuah kendaraan yang biasanya berwarna biru dan hijau tua itu.
Dari ujung sana, Alan melajukan motornya ke arah dimana Ara sedang berdiri.
"Sreeet" suara ban yang bergesekan dengan aspal yang basak karena embun semalam.
"Bareng gue" ujar Alan pada Ara yang acuh tak acuh akan kehadirannya.
"Tumben?" tanya Ara heran melihat Alan yang berhenti untuk memboncengnya menuju sekolah, biasanya dia selalu berjalan lurus tanpa menoleh saat Ara menyapanya. Itu dulu.
"Kan gue butuh bantuan lo, jadi udah seharusnya gue baik sama lo"
Bangsat, itu kata yang pantas di ucapkan Ara pada Alan kali ini, karena dia hanya baik pada Ara saat dia membutuhkannya.
Alan menyerahkan helm berwarna green tea yang sengaja dia bawa ke arah Ara, seorang anak SMA, kelas sebelas itu, bukan berarti Alan tidak memiliki SIM untuk berkendara ke sekolahnya.
"Udah?" tanya Alan pada Ara yang sudah menaiki motornya, dia melihat dari kaca spion.
"Mmm" gumam Ara malas, dia hanya menjawab pertanyaan Ara dengan gumaman kecil.
Motor Alan melaju cepat, Ara yang duduk di belakangnya hanya berani pasrah jika dia harus terjatuh, meskipun tangannya memegang tas Alan yang sedang di gendongnya itu.
Sebentar lagi, sekolah mereka sudah terlihat di depan sana, Ara menepuk pundak Alan saat mereka hampir tiba di sekolahnya.
"Apa?" tanya Alan sambil menoleh kebelakang.
"Gue turun disini" pinta Ara saat Alan menghentikan motornya.
"Kenapa?"
"Gue gak mau sekolah tau, gue sama lo kan belum sepenuhnya damai" jelas Ara pada Alan yang membuatnya terkekeh pelan.
"Ra, Ra, gue tau lo gak mau sekolah tau, tapi gak disini juga kali Ra, masih jauh tuh" tunjuk Alan pada sekolah mereka yang masih berjarak kurang lebih lima puluh meter itu.
"Bodo" ucap Ara lantas segera turun dan berjalan meninggalkan Alan.
"Eh bego!, helmnya belum di lepas" panggil Alan pada Ara dengan sebutan bego itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bego Not Stupid
Teen FictionKamu boleh jatuh cinta Asal jangan bodoh karenanya. Maafkan saya kalau banyak yang typo,semoga kalian mengerti,jangan lupa vote ya... Lup:3