Waktu sudah menunjukkan pukul 18.14 menit, yang berarti hari sudah mulai petang, sejak kepulanganku dari sekolah siang tadi, aku belum berani keluar kamar untuk menemui ayah yang berulang kali menyuruh bibi memanggilku, aku hanya duduk di lantai sambil menunduk lesu.
Rasa bersalah yang menghantuiku saat ini sungguh membuatku tidak tenang, disisi lain aku tidak ingin menjadi seorang pengecut, dulu ibuku selalu memarahiku saat aku tidak berani mengatakan "aku bersalah," baginya aku di besarkan bukan untuk menjadi pengecut.
Tapi sekarang aku tumbuh besar dan tak berani mengatakan "aku benci dengan hidup yang bahkan tak punya hak didalamnya."
"Den, diajak makan sama bapak tuh!" panggil seorang wanita, dia adalah pembantu di rumah ini, aku memanggilnya dengan sebutan bibi.
Haruskah aku menjawab panggilan itu? dengan kata apa aku harus menjawabnya? Aku tak berani mengiyakan dan tak berani juga menolak, yang kulakukan hanya diam sambil memegang kepalaku mencari cara atau bahkan alasan untuk menghindar dari ayah."Alan, kamu sakit?" suara bariton dari balik pintu itu kudengar sangat membuatku takut, tak perlu di tanya lagi, dia adalah ayahku.
"Alan" satu kali lagi namaku di panggil, aku bingung harus bagaimana.
Pintu kamar yang kukunci dari dalam, saat ini telah terbuka lebar, aku lupa sesuatu, ayah adalah pemilik rumah ini, tentu saja dia memiliki semua kunci cadangan.
"Kenapa kamu tidak memenuhi panggilan ayah dari tadi?!" bertanya namun sedikit membentak, itu adalah karakter ayahku saat dia menanyakan sesuatu padaku.
"A Alan lagi dengerin musik yah," jawaban macam apa yang aku keluar kan ini, sudah jelas ayah tidak suka jika aku menghabiskan waktuku dengan musik.
"Dari siang sampai sekarang dengerin musik?, kamu anggap apa ayahmu ini?!" langkah kaki ayahku terdengar mendekatiku, tak usah menolehpun sudah terdengar jelas.
Aku tahu ayah sedang marah kali ini, dan aku lebih marah lagi jika aku harus menjadi pengecut yang hanya duduk dan tak mengatakan "Alan sedang menghindar dari ayah.""Ayo makan" ajak ayahku yang sontak membuatku heran, sedari tadi aku takut ayah memanggilku untuk menanyakan perihal nilai sekolah yang kujanjikan pada ayah tadi pagi.
Aku lantas berdiri dan mengikuti ayah menuju meja makan, diam, itu yang aku lakukan saat ini begitupula dengan ayah. Hanya suara sendok yang menyatu dengan piring yang terdengar di ruangan ini."Ayah sudah tahu," ayahku membuka suara saat dia selesai meneguk segelas air mineral yang di ambilkan bibi.
"Maaf" hanya itu yang aku katakan saat ini, bahkan satu kata itu sangat sulit untuk keluar dari mulutku, aku jarang mengatakan maaf, itu adalah tipe seorang Alan yang pantas di sebut pengecut ini.
"Kamu masih punya kesempatan, jika kamu tidak berhasil pada ujian selanjutnya jangan salahkan ayah untuk memindahkanmu ke Singapura!" jawaban yang sedikit melegakan tapi membuatku tersentak saat mendengar nama negara yang tak ingin ku kunjungi itu.
Aku hanya mengangguk mengiyakan, aku segera pergi saat perutku sudah kenyang, iya rasa takut yang menghantuiku sedari tadi membuatku sangat lapar.
Saat setelah aku menyikat gigiku dan lantas kembali memasuki kamar, segera kurebahkan tubuh lelahku ini.
Pikiranku berjalan jauh, mulai dari Ara yang membuatku sedikit terkejut dengan perubahannya dan bahkan bagaimana dia menggeserkan posisiku.
Aku tahu dia sedang berbahagia diatas penderitaanku, dia sedang tertawa bangga di depan orang tuanya, itu yang aku pikirkan sekarang."Alan, lo nyesel kan atas perbuatan lo selama ini ke gue?"
Satu suara yang seperti terdengar jelas di telingaku, ku gelengkan kepalaku dan kututup kedua telingaku lantas membukanya perlahan, aku tahu aku sedang berhalusinasi sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bego Not Stupid
Fiksi RemajaKamu boleh jatuh cinta Asal jangan bodoh karenanya. Maafkan saya kalau banyak yang typo,semoga kalian mengerti,jangan lupa vote ya... Lup:3