3. Decision

61 30 27
                                    


Pada akhirnya kita akan mendukung keputusan sahabat, sebodoh apapun pilihan mereka.


Kebanyakan orang tentu pernah berada di ujung tombak. Merasa bahwa keputusan yang diambil akan tetap salah entah itu melangkah ke kanan, kiri, depan, atau belakang. Seperti hari ini. Darwin tidak pernah tahu seharusnya ia menahan Tania atau tidak. Menahan dalam artian melarang Tania pergi demi Tante Sarah. Wanita itu tentu menginginkan kehadiran putrinya di acara pernikahannya.

Tapi jika Darwin mengambil keputusan itu, tentu ia akan menyesal. Nyar Nedia adalah sosok yang sering diagung-agungkan Tania jika gadis itu baru saja menamatkan buku-bukunya. Memuji segala cara pengarang kebanggaannya merangkai kalimat-kalimat dengan kata kunci yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Kesempatan gadis itu untuk  bertemu idolanya tidak bisa dipastikan akan terulang kembali.

Pemuda itu memandang Tania sekali lagi, berusaha menyembunyikan wajahnya yang sudah seperti TTS Kompas. Rumit terbaca dari segala sisi.

Pada akhirnya kita akan mendukung keputusan sahabat, sebodoh apapun pilihan mereka.

Ya, Darwin membiarkan Tania lenyap di balik pintu bus yang akan mengantar gadis itu ke Bali, demi kelas menulis Nyar Nedia.

***

Ke Bali jalur darat? Siapa takut! Tania yakin perjalanannya akan lebih menyenangkan dibandingkan jalur udara yang sekedipan mata sampai. Walau waktu yang terbuang bisa seharian penuh dan pantat dijamin kram jika terus duduk di kursi.

Begitu sol sepatunya tiba di bus yang akan mengantarnya ke Bali, matanya terpaku pada sebuah buku di tangan seorang pemuda. Buku yang sama dengan yang masih dibawanya.

Setelah matanya menggilir perhatian sepintas pada jajaran kursi-kursi bus, ia tak punya pilihan lain selain mendekali lelaki di dekat pintu bus. Pemuda itu nampak menyandar santai dengan buku Nyar Nedia di tangannya.

"Hai, salam kenal. Aku Britania Sekar Hanisa." Tania mengulurkan tangan. Lelaki itu menatapnya bingung. Kemudian melepas pelantang telinga tanpa kabel dari telinganya.

"Eh, em....." Tania menjadi canggung. Perempuan itu menarik tangannya kembali.

"Rayn Aiden Arsawijaya." Dengan cepat, lelaki itu menangkap tangan Tania sebelum gadis itu benar-benar kecewa. Hal tersebut membuat Tania terkejut. Namun dengan segera Tania terbahak.

Rayn mengerutkan dahi.

"Dimohon kepada semua penumpang untuk mempersiapkan diri. Karena bus kita akan segera melaju."

"Aku boleh duduk di sini? Nggak ada yang nempatin kan?"

"Ngg ... nggak ada." Seperti ada sekat di kerongkongannya. Membuat suaranya berdecit seperti ban sepeda ketika direm mendadak. Kemudian tangan kanannya terangkat, memberi kode seseorang di dekat pintu bus untuk duduk di depan saja.

"Ehm, jadi panggilanmu Rayn? Kayak hujan ya?" Tania berusaha menghentikan tawanya. "Gini ya rasanya ketemu pemilik Arsawijaya. Btw, Arsawijaya itu nama marga ya?"

Rayn masih bingung dengan arah pembicaraan gadis di sebelahnya. Lelaki itu hanya menganggukkan kepala ragu.

"Kamu sekolah di mana?" Tania mengalihkan pembicaraan lain karena melihat Rayn tidak paham dengan topik sebelumnya.

"Selama ini homeschooling. Karena tinggalnya masih pindah-pindah, ehm ... Urusan bisnis Vater si."

Tidak ada pertanyaan balik dari Rayn. Maka untuk melanjutkan basa basi ala orang Indonesia, Tania menambahkan, "Aku sekolah di SMA Arsawijaya."

Not My World [1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang