4. The Awaited Day

53 27 12
                                    

Tidak pernah ada "Papa" dalam kamus hidupnya. Setidaknya semenjak delapan tahun lalu. Hidupnya yang terkesan sederhana tetap akan sempurna walau hanya dinikmati berdua. Cukup dirinya dan Mama.

Apa yang diharapkan ketika kalian baru pertama kali menginjak Pulau Dewata? Pantai, pasir putih, langit biru, bau laut, kicau burung, khas negeri dongeng?

Tapi bagaimana kalau yang kita harapkan tidak pernah terjadi dalam waktu singkat?

Derit roda di bawah kopernya, tusukan tajam oleh rentetan kalimat di dadanya, dan segudang kegelisahan di kepalanya runtuh bersamaan seperti kartu yang disusun berjajar dan roboh secara berurutan. Menjalar ke segala arah. Mengetuk pintu air mata, mengguncang degub jantung, menampar wajahnya agar semakin pias. Begitu saja semuanya berantakan ketika pintu hotel itu tertutup sempurna.

Hal yang bahkan tidak diinginkan dan seharusnya tidak dilakukan, tak bisa dihindarinya. Tania sedang melihat ke arah belakang. Ke masa lalu, yang tidak bisa benar-benar dikatakan masa lalu karena terasa baru terjadi satu detik yang lalu.

Rencana masa depannya yang sudah tersusun seperti itinerari perjalanan wisata, masa kecilnya yang hilang tanpa kebersamaan keluarga, kebahagiaannya yang rumpang, dan kehilangan yang terus berjalan. Mama menikah lagi. Itu bukan sesuatu yang diharapkannya. Ia tidak pernah mengharapkan akan punya papa baru. Seseorang yang nantinya akan melengkapi formasi keluarganya.

Tidak pernah ada "Papa" dalam kamus hidupnya. Setidaknya semenjak delapan tahun lalu. Hidupnya yang terkesan sederhana tetap akan sempurna walau hanya dinikmati berdua. Cukup Tania dan Mama.

Tapi tiba-tiba disaat yang tak terduga, ia melihat Mama sedang berkencan dengan seorang laki-laki. Yang tidak pernah dikenal Tania sebelumnya. Dan pada hari yang sama ketika ia hancur melihat mamanya dengan lelaki asing, hari itu juga Tania dibuat memburai berkeping-keping. Harapan tiba di rumah bisa menenangkan pikiran, ia malah harus berhadapan dengan lingkaran badai. Mama mengabarkan akan segera menikah dengan lelaki asing itu.

Ada kecewa dan sakit hati yang seringkali kambuh lagi. Bagaimana tidak kecewa jika Tania saja tidak tahu apa-apa Mama menjalin hubungan dengan seorang laki-laki. Dan ia baru diberitahu ketika keduanya sudah menetapkan akan menikah.

Tania memukulkan kepalan tangannya pada kepala. Seharusnya ia membaca kode yang dikirim Mama. Jarang pulang, membeli apartemen, apa lagi? Tania saja tidak pernah tahu kegiatan Mama selama di butik.

Dengan sisa isak, gadis itu menyalakan ponselnya yang sengaja dibiarkan mati sejak semalam. Sebenarnya hanya satu nama yang tidak diizinkannya untuk menelepon. Bisa saja ia memblokir kontak tersebut barang beberapa jam sampai kerusuhan dalam dirinya mereda. Tapi mana bisa.

Puluhan panggilan tak terjawab dan pesan jalur pribadi dari satu orang yang sama memenuhi layar ponselnya. Tania mendorong kasar kopernya hingga menghantam meja dan membuat vas di atasnya terjatuh. Pilihannya benar untuk meninggalkan pesta pernikahan Mama. Setidaknya ia membiarkan acara itu berlangsung aman tanpa dirinya yang meledak di tengah-tengah ketentraman tamu undangan.

Satu pesan yang muncul membuyarkan kerunyamannya.

Darwin: Udah sampai?

Membentur deras hingga ujung kecil hatinya. Menyadarkan gadis itu bahwa masih ada yang peduli dengan hidupnya. Memang bukan seseorang yang berasal dari keluarganya, namun Darwin adalah seseorang yang ia anggap sebagai keluarga.

Terkadang dalam hidup, kita sering menjumpai beberapa keterbalikan makna dan kejadian. Bukan keluarga berasa saudara, atau satu keluarga berasa bukan dari asal yang sama.

Tania mengetik balasan. Sekalipun gadis itu tidak pernah tahu ada seseorang di seberang sana yang menahan diri mati-matian mengungkap kebenaran dan menanyakan keadaan.

Not My World [1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang