11. You're not alone

11 5 6
                                    

Rayn menatap bola mata cokelat kehitaman di hadapannya. Akankah raut penuh tanya itu berubah kecewa usai ia mengatakan yang sebenarnya? Nyar Nedia akan semakin buruk di pandangan Tania.

"Oke, aku cerita."

Rayn turun satu anak tangga. Hingga posisinya sejajar dengan Tania.

"Aku adalah bagian dari El Escritor. Aku sudah beberapa kali mengikuti bengkel menulis Nyar Nedia. Itu sebabnya dia mempercayakan seminarnya padaku tempo lalu. Itu juga yang membuatku tahu kamu belum mengirim karya."

"Katanya yang kemarin itu seminar pertamanya?" Tania memalingkan wajah, "Heran aku sama penulis itu. Terserah deh, yang penting aku masih suka bukunya. Terus sekarang, hubunganmu dengan Arsawijaya apa? Sekolah ini milik keluargamu?"

"Perlu kamu tahu aku nggak ada hubungan apapun dengan sekolah ini, Tania. Aku murni baru tahu ada sekolah dengan nama yang sama dengan margaku. Dan lagi, seburuk apapun kamu mengenal Nyar Nedia, tolong jangan beri efek negatif apapun tentang penulis itu di sosmed."

"Jaminannya?"

Rayn terkejut mendengar pertanyaan itu. "Jaminannya aku akan bantu kamu memahami matematika. Berapa targetmu?"

"Kalau aku bilang sembilan puluh apa itu ketinggian?" Tania mengangkat kedua alisnya.

"Kalau aku bisa membuatmu dapat seratus?"

"Terserah deh. Kalau nilaiku aja buruk rupa kaya Beast dan daya tangkapku buat matematika nol persen, apa boleh buat?"

"Kalau sampai nilai seratus ada di bayanganmu, berarti kamu mungkin buat dapetin itu!"

Tania tidak memberi kepastian mengenai tawaran Rayn. Gadis itu justru berbalik dan pergi. Meninggalkan nestapa dalam diri Rayn.

Jantungnya berdebar lebih cepat dibanding biasanya. Bahkan hingga pemuda itu tiba di pelataran rumahnya, rasa yang berkecamuk itu tak kunjung reda. Sejak pertemuan itu, Tania memang selalu membawa efek samping negatif bagi kesehatan mentalnya. Bayangan masa lalu itu memanjang tak terputus juga. Rayn kesal hingga memukul kepalanya tiga kali menggunakan kepalan tangan.

Langkahnya terhenti usai menutup pintu ruangan miliknya. Membuka sebuah ruang lain yang tak pernah diketahui siapapun selain dirinya.

"Ra ... bahkan hingga kini aku masih bertanya soal yang sama. Apa kamu dilahirkan kembali?" Pemuda itu bersimpuh. Bayangan senyum seorang perempuan memenuhi kepalanya. Melahirkan anak sungai yang berhilir dan tak kunjung berakhir.

"Jika aku bisa memutar waktu, apa hari itu tidak akan ada? Jika aku tidak bisa mengubah takdirmu, apa aku masih bisa mengubah pertemuan itu?"

Laki-laki tujuh belas tahun itu mendekap potret seorang perempuan. Membiarkan air matanya membasahi pipi. Membiarkan ketukan di luar tak menginterupsi.

"Rayn!" Rayn tak mendengar. Ia masih berada di sisi lain ruangannya. "Jangan pernah bertamu ke kelasku ... atau kamu akan menyesal dan tak pernah berhasil melupakan."

Rayn menahan bersuara. Tapi ia berhasil mendengar ucapan lirih di balik pintu ruangannya. Hanya satu kata yang tertangkap di telinganya. Melupakan.

Rayn berdiri, menghadap meja besar dengan kertas bertebaran di atasnya. Juga foto-foto dengan keterangan di baliknya. Bolehkah ia meminjam waktu dari masa lalu untuk mengembalikan semua?

"Ra ... aku tidak akan pernah berhasil melupakanmu."

***

Kelabu menggantung serupa sendu di ambang langit berderit. Seorang gadis masih saja duduk di halte depan sekolah. Tiga bus terlampaui sudah. Tak ada tanda-tanda gadis itu ingin pulang. Sebab rumahnya tak lagi aman. Ia tak lagi menemukan jalan pulang.

Not My World [1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang