10. They will Go

14 8 3
                                    

Nggak ada cara balas dendam paling sempurna kecuali membuat namamu semakin tinggi di atas mereka.

Senja mengukir sendu semakin dalam. Seribu cerita naik ke angkasa. Setelah air matanya berhasil tumpah ruah di hadapan Darwin, entah mengapa Tania tak berani cerita mengenai keinginannya untuk mengubah nasib menjadi seperti saudara-saudara tirinya. Yah ... apabila ia boleh mengatakan mereka saudara. Karena pada kenyataannya, kata itu hanya akan menambah ganjil pikirannya.

Tania memberanikan diri menyentuh buku matematika, menekuri banyak halaman yang selama ini tidak terjamahnya. Hingga bulan menghilang entah ke mana, Tania baru berhenti. Tiga jam sudah ia lewati dan hanya bisa mengerjakan dua soal matematika. Tania frustasi. Membiarkan tangannya mengacak-acak rambut dan air matanya kembali meleleh.

Gadis lima belas tahun itu membuka jendela lebar-lebar, membiarkan malam menerpa tubuhnya. Bulan tertelan awan, langit tak berbintang. Gamang, semua menghilang. Bahkan kesadaran akan dirinya tak kunjung pulang.

Tania menatap asing yang menjalar di sekitarnya. Tidak ada Papa, sudah biasa. Tidak ada Mama, tidak ada Bi Minah, tidak ada makanan enak di meja makan, tontonan menarik layar kaca, diskusi malam Minggu, liburan akhir pekan ... yang ini tidak biasa. Apa akan selalu ada kehilangan beruntun di hidup tiap-tiap orang? Tania tergugu sendirian.

Wajahnya menatap jendela kamar Darwin yang gelap. Apa Darwin juga akan menghilang? Tania menelan ludah. Ia tahu, tiga tahun berjalan lebih singkat dari perkiraan dan estimasi kebahagiaan. Dunia perkuliahan akan segera dijejali angkatannya. Dan Darwin ... pemuda yang telah lama menjadi sahabatnya itu sudah dipastikan akan berkuliah di Negeri Kanguru. Sedangkan ia tak boleh jauh berharap. Barangkali suatu saat Mama akan memberhentikan laju uang saku.

Tania mengusap air matanya. Berusaha untuk tidak kembali menangis. Mengintip sisi lain rumah Darwin yang masih benderang. Lampu ruang musik berdinding kaca. Darwin biasa menghabiskan waktu di ruangan itu, menjadikan kamarnya benar-benar hanya untuk tidur. Bagaimana jika nanti tidak hanya Darwin yang menghilang, tapi juga Bunda, Om Lazuardi, atau bahkan rumah yang ditatapnya kali ini beberapa tahun kemudian berganti penghuni?

Tania tak bisa membayangkannya. Tidak perlu jauh-jauh ke masa depan, teman sekolah dasarnya saja sudah tidak saling mengenal. Bertemu di jalan, tak ada senyum canggung sekalipun. Benar-benar asing. Gadis itu menghela napas berat. Semua yang menjadi miliknya, suatu saat akan hilang. Dan ia sudah mengalami kehilangan yang cukup besar.

Satu-satunya cara yang dapat dilakukan adalah merelakan. Atau berusaha terbiasa tanpa orang-orang yang suatu saat akan hilang.

Tania memejamkan mata kuat-kuat hingga kelopaknya berkerut. Menghela napas sekali lagi kemudian berbalik setelah menutup jendela kamarnya.

***

Pagi yang indah barangkali hanya dimiliki orang-orang dengan panggilan sarapan, meja makan yang penuh, dan berangkat sekolah diantar orang tersayang. Sehabis usaha menutupi mata sembabnya yang masih sedikit kentara, Tania buru-buru berlari menuju halte bus. Sepatunya membelah jalan setapak keluar dari gang komplek perumahannya. Gadis itu tiba di halte setengah jam lebih awal sebelum jadwal seharusnya ia berangkat dengan Darwin.

Bus tiba tepat setelah Tania berhasil mengatur kembali napasnya. Gadis itu segera bergegas. Menimang ponsel, bingung perlu mengabari Darwin atau tidak. Seharusnya sih perlu, tapi apa alasannya berangkat lebih awal?

Tania buru-buru mengetik pesan untuk Darwin. Alasan tugas kelompok belum tuntas biarlah menjadi tamengnya saat ini. Gadis itu kemudian segera memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku. Radiasi dari ponsel dan bus yang melaju cepat sukses membuat kepalanya pusing.

Not My World [1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang