8. They're Happy Without Me

38 18 16
                                    

They're happy without me.
Aku hanyalah gerimis pagi
dan mereka adalah waktu setelah itu.

Malam semakin pekat dan buih sepinya semakin membara. Dingin yang hadir bersama sepoi dari ujung jendela semakin membakar kulitnya. Setumpuk tugas dari sekolah di atas meja. Letaknya terlalu strategis dari mata. Duduk di sudut kamar bagian mana pun, tumpukan tugas itu tidak bisa hilang dari pandangannya.

Tania menghela napas. Membentangkan kedua lengannya dan membiarkan punggungnya rebah pada ranjang. Mempertahankan kedua bola matanya untuk tetap setia pada langit-langit kamar. Sebab melirik sedikit saja pasti berhasil menatap tumpukan tugas membosankan itu. Gadis itu terdiam, berpikir. Mengapa sekolah tidak memberinya kesempatan untuk mengasah hobi? Setiap hari terpenjara delapan jam di sekolah dan sesampainya di rumah masih juga ada tugas yang harus dikerjakan. Kemudian di mana letak istirahatnya? Sabtu dan Minggu? Bohong banget! Kalau iya begitu, jangan biarkan ada tugas kelompok!

Perutnya sudah berbunyi lagi. Padahal sepulang sekolah tadi ia sudah makan di rumah Darwin. Masakan Bunda selalu enak. Di rumah ia juga masih sempat membuat roti isi. Tapi sekarang sudah lapar lagi. Dengan malas Tania menunda lapar dengan mengunyah cokelat batangan.

Percayalah di saat bosan mulai mengetuk-etuk mata, dapat dipastikan delapan puluh persen populasi manusia milenial memilih berselancar di media sosial. Istagram. Pilihan yang tepat.

Karena sebelumnya ia berhasil menemukan akun milik Rayn, maka hari ini ia akan berselancar lebih jauh di postingan-postingan pemuda itu. Tentu saja ... untuk mencari siapa sebenarnya Rayn.

Tidak seperti kebanyakan laki-laki berumur tujuh belas yang akun Instagramnya hanya sebagai formalitas atau presensi kepemilikan akun dan say aku-tidak-kudet pada dunia maya. Terlebih pada teman-teman sekelasnya supaya tidak terkesan terlalu ketinggalan zaman. Postingan Rayn juga tidak sedikit, apalagi hitam putih. Atau postingan random dengan caption emoticon ngaco. Tidak sama sekali. Apalagi sampai feednya diatur sedemikian rupa hingga warna postingannya senada.

Postingan Rayn bisa dibilang banyak walau tidak seheboh postingan artis. Ada sekitar seratus postingan. Tapi begitu masuk dan menjelajahi akunnya seketika seperti berada di sebuah galeri foto. Setiap foto yang diposting menyuarakan kisah di baliknya. Nenek-nenek dengan tumpukan kayu di punggung, bunga anggrek dan seekor lebah yang mengitarinya, bunga sakura, burung, kupu-kupu, hingga pemandangan alam seperti pantai, matahari terbit dan tenggelam. Semua dalam titik fokus yang jelas dan disertai lokasi pengambilan foto itu. Untuk foto manusia dan pemandangan alam sepenuhnya diambil di Indonesia. Sedangkan untuk tumbuhan dan hewan kebanyakan diambil di luar negeri.

Banting stir dari topik Rayn yang mengutip kalimat Nyar Nedia tanpa izin, di bawah caption Rayn selalu menambahi keterangan berupa nama latin tumbuhan beserta jenis kamera apa yang digunakannya untuk memotret.

Di bentangan postingan yang tak pernah memuat foto pribadi Rayn, ada satu postingan yang paling mencolok. Setangkai bunga kenikir kuning dengan tiga bulir air di atasnya serta latar belakang pantai. Dengan caption yang cukup menarik perhatian sebab Tania sendiri belum pernah membaca kutipan itu di tetralogi Mata Angin milik Nyar Nedia.

Hujan membasuh ingatan yang bermain-main di bawahnya. Sepucuk sendu menaungi rindu yang tak kunjung mereda.

Selain karena keterangan foto itu bukan kutipan milik orang lain, atau memang kutipan yang tidak disertakan penulisnya, ada banyak komentar yang menjadi jejak abadi di sana. Postingan itu satu tahun yang lalu. Kalimat duka cita dan segelintir dorongan untuk sabar memenuhi kolom komentar. Tidak ketinggalan satu dua orang yang menyatakan kalimat ikut serta merindu. Siapa yang pergi? Siapa yang meninggal?

Not My World [1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang