9. Feeling blue

18 12 12
                                    

Sampai kapan akan tetap sendiri
hingga dilahap sepi?

Angin berlari kencang menerabas dahan hingga batang. Membuat sirat khawatir berupa keriet yang menyudahi gugurnya daun-daun kering di anak-anak ranting.

Debaran jantungnya baru mereda begitu tubuhnya mendarat di bangku taman. Sudut matanya basah sedari pengiriman pesan pada salah seorang sahabatnya.

Tania menunduk, tidak ingin melihat sekelilingnya. Hatinya besar berharap tidak ada seseorang pun di taman itu kecuali dirinya. Tania tergugu, kemudian air matanya mulai berjatuhan. Puluhan pertanyaan yang barangkali dapat hadir setiap bertambahnya usia baru muncul ke permukaan sekarang.

Alisha ... gadis itu berhasil mendapatkan banyak hal yang tidak bisa didapatkan orang lain. Termasuk mendapatkan ayahnya. Papa ... sudah berapa lama bersanding dengan keluarga itu? Apakah Alisha merasa aman dalam dekapan Papa? Apakah Alisha bangga memiliki ayah tiri seperti Papa? Apakah Alisha dianggapnya seperti anak sendiri?

Tania menelan ludahnya susah payah. Pertanyaan lain mulai bersarang di kepalanya. Mengenai berapa lama Papa bisa akrab dengan Alisha. Berapa banyak teman Alisha yang dikenalkan pada Papa. Apa yang biasa mereka obrolkan. Berapa kali Papa mengacak dan menepuk kepala Alisha sebagai wujud rasa bangga setelah gadis itu meraih beberapa keberhasilan. Apakah Papa bangga dengan Alisha. Bagaimana cara Papa mendekap Alisha dahulu sekali. Seperti apa rasanya didekap Papa. Tania bahkan lupa rasanya. Apa Alisha juga akan ikut tersenyum bila Papa tersenyum? Bagaimana Papa bisa menyayangi seseorang yang bukan anaknya sendiri?

Selain Papa ... Mama juga sudah bahagia dengan pilihannya. Mama berhenti membujuk Tania untuk ikut serta tinggal bersamanya. Janji uang bulanan itu entah sampai kapan berakhir. Akankah Mama kembali memaksa dirinya untuk tinggal bersama? Tapi rasa-rasanya Mama sudah terlihat bahagia hidup bertiga. Bagaimana jika kewajiban mencukupinya menjadi sesuatu yang memberatkan bagi Mama sekarang?

Akankah waktu yang hilang itu terganti? Makan malam berdua menjadi sendiri. Tidak ada suara televisi dan diskusi malam di tiap akhir pekan lagi. Tidak ada yang ditunggunya setiap hari Sabtu dan Minggu. Tidak ada acara masak bersama lagi. Harusnya Tania mencari tahu mengenai hilangnya Mama lima hari dalam sepekan. Harusnya Tania tahu alasan Mama membeli apartemen di dekat butik padahal jika pulang ke rumah tidak terlalu jauh. Semua itu dilakukan Mama untuk mendapatkan cintanya.

Tania berkaca pada ponselnya. Wajahnya tak keruan. Bel masuk akan berbunyi lima menit lagi. Dan ia tidak yakin waktu sesingkat itu dapat menetralkan wajahnya kembali.

"Guten Morgen."

Jantungnya berdegub kencang seketika. Yang ia takutkan terjadi. Kemunculan seseorang di saat dirinya sedang tidak baik-baik saja. Tania mengusap wajahnya dan kemudian menoleh mendapati seseorang yang barusan menyapanya.

Rayn terlihat terkejut mendapatinya usai menangis. Pemuda itu bahkan otomatis memundurkan kakinya selangkah dan terdiam menatap Tania.

Seburuk itukah ekspresinya saat ini? Hingga Rayn terkejut menatapnya?

"Sampai kapan akan tetap sendiri hingga dilahap sepi?" Rayn tiba-tiba bersuara lirih.

"Apa?"

"Enggak," Rayn berdiri menghadap ke arah yang sama dengan Tania. Sehingga mereka nampak berdampingan dengan Rayn yang berdiri di sebelah kanan dan Tania duduk di sebelah kiri. Kolam ikan yang jernih di depan mereka. "Cuma mau ngingetin, pengiriman naskah lomba cerpen tiga hari lagi tenggat waktunya."

"Kalau aku nggak ikut?"

"Wajib kan?"

Tania menghela napas. Bisakah informasi itu tidak datang di saat ia bahkan melupakannya? Bukan informasi penting yang ingin didengarnya. Tania tidak yakin menang, ia bukan seperti Alisha yang dapat dengan mudah menjuarai berbagai perlombaan. Kondisi keluarganya adalah yang terpenting dipikirkan menurut Tania saat ini. Walau ia mungkin tidak akan pernah diterima kedua orang tuanya lagi.

Not My World [1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang