PROLOG

46 5 3
                                    

Hujan, selalu mengingatkanku pada satu peristiwa, peristiwa yang menyesakkan, peristiwa yang membuat jantungku sukses berdesir ngilu. Seperti sekarang ini hujan tiba-tiba datang berjatuhan dari langit, menyerukan bunyi gemerutuknya yang cepat dan derasnya. Petir yang menyambar bersahutan, mengeluarkan kilat menyeramkan. Aku memegang dadaku, menahan sensasi desirannya. Mataku sudah berkaca-kaca, napas terasa berat. Teringat kenangan yang tak bisa kulupakan meskipun sedetik saja. Jelas ini bukan kenangan menyenangkan, tapi kenangan menyakitkan, kenangan yang membuat tubuhku menjadi gemetar ketakutan, dan dadaku sesak tak beraturan, air mata tanpa henti berjatuhan, seketika membuatku merasa rapuh tak tertahan.

Sepuluh tahun yang lalu. Hujan yang sama derasnya terjadi, membasahi jalanan aspal dan pepohonan di pinggir jalan, bahkan kendaraan yang berlalu lalang harus berjalan perlahan. Tidak sedikit pengendara motor memilih untuk menepi, beberapa pejalan kakipun juga mencari tempat untuk berteduh. Ada yang duduk di bangku panjang yang tersedia di pinggiran jalan. Sebagian orang justru memilih berdiri melihat sekitar, mengobrol, ataupun melamun dan terpaku dengan ekspresi kedinginan. Jarak pandang lebih dari 10 meter sudah mulai sedikit kabur. Angin yang kencang menambah keganasan hujan sore itu. Hanya saja tidak ada petir yang menyambar bersautan.

Tepat 10 menit berlalu, setelah orang yang paling aku cintai mengatakan harus pergi. Hujan masih terus berjatuhan tiada henti menemaniku yang terpaku sendiri. "Aku harus pergi Rain.." Demikian ucapnya tersendat, raut wajahnya jelas menunjukkan kesedihan, mendadak rasa sesak di dada menyeruak mencekat tenggorokanku. Aku tahu dia merasakan sesak yang sama. Aku bisa merasakan dalam tatapan matanya. Bukan setahun dua tahun aku mengenalnya, aku paham betul seperti apa Kak Nat, meskipun tetap saja aku tak bisa mencegah dan tidak paham apa penyebab dia tiba-tiba mengatakan ingin pergi. Aku masih mengira dia hanya mengerjaiku, tidak serius. Tapi dugaanku salah. Dia benar-benar pergi menjauh dari hadapanku. Hujan sudah membasahi tubuh kami berdua. Aku menangis sesenggukkan. Aku tidak tahu apakah dia juga menangis, karena wajahnya sudah basah dengan air hujan. Aku tidak bisa membedakan antara air hujan dan air mata. Yang aku lihat mata sayunya memerah. Kesedihan tak bisa di sembunyikan dalam tatapannya. Aku pun makin tidak paham dibuatnya.

RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang