Memang benar bahwa perpisahan itu pasti. Tapi aku benci dengan namanya perpisahan. Buat apa dipertemukan jika akhirnya hanya untuk dijauhkan? Yang ada hanyalah menyisahkan kesedihan, kenangan pahit, bahkan luka.
"Aku bukan lelaki yang terbaik untukmu Rain.." lanjutnya lirih. Ucapannya membuatku semakin tidak mengerti, "ada apa ini?,apa maksud Kak Nat?" Orang yang tidak tahu, pasti mengira kami ini sepasang kekasih padahal tidak demikian, meskipun aku menyayanginya, tapi kami bukanlah sepasang kekasih. Aku masih yakin Kak Nat hanya menganggapku sebagai adik tidak lebih, tapi entah kenapa dia mengatakan hal tersebut. Bukan lelaki terbaik untukku? Apa maksudnya? Apakah selama ini hubungan adik kakak yang terjalin sejak lama telah berkembang menjadi cinta sepasang kekasih? Kak Nat mencintaiku seperti apa yang aku rasakan? Tapi, kenapa harus pergi, bukankah cinta itu tetap tinggal bukan berlalu pergi? Entahlah!
Alasan yang dilontarkan Kak Nat cukup klasik, mungkin ini hanya cara halus untuk tidak menyakiti lebih dalam, atau mungkin menghindari sebuah pertanyaan yang lebih detail. Padahal mana ada manusia sempurna? Tidak ada bukan? Semuanya proses untuk menjadi lebih baik, termasuk aku. Aku tidak terima dengan ucapan Kak Nat bahwa dia bukan yang terbaik untukku. Dalam hal apa? Tidak ada hubungannya bukan? Terlalu mengada-ada. "Kamu pasti baik-baik saja tanpaku, percayalah.." Dia memegang pundakku. "Baik-baik saja? Sebenarnya kamu kenapa kak?" Akhirnya aku mampu mengeluarkan sebuah pertanyaan. "Kak kamu kenapa?" demikian ulangku dalam batin yang berontak, aku menatapnya penuh tanya tak berkedip. "Tidak ada kebahagiaan dari sebuah perpisahan yang tidak diharapkan, apalagi ditinggal orang yang disayang." Lanjutku dalam batin. Lidahku mendadak kelu, tak sepatah katapun kembali terucap, tak sempat mengeluh hanya mampu membisu, dengan berbagai macam tanya yang berkecamuk. Kak Nat hanya menggeleng. Beberapa menit kemudian dia sudah membalikkan badan menjauh dariku, berlari meninggalkanku, teriakkanku tak mampu membuatnya berhenti, sampai akhirnya aku hanya bisa menangis dalam diam mematung di tengah hujan yang kian deras.Aku meminggirkan mobilku. Di suasana seperti ini aku tidak mampu lagi menyetir. Lebih baik aku berhenti sejenak menenangkan hati dan pikiranku. Menghela napas beberapa kali, melihat di sekeliling kaca mobil yang mengembun, sampai rasa nyeri di dadaku berkurang dan nafasku yang tersengal perlahan normal. Kak Nat demikian aku memanggilnya, semenjak aku tinggal di panti asuhan, dialah teman pertama yang lambat laun seperti kakakku, bahkan diam-diam aku mulai mengagumi dan menginginkannya, dialah cinta pertamaku, selain kedua orang tuaku. Kak Nat yang membuatku selalu ingin berada di dekatnya, Kak Nat yang tiba-tiba menjadi penyebab utama alasanku tersenyum sendiri, Kak Nat yang merubah moodku, seketika girang, atau tiba-tiba mendadak sedih karena rasa takut. Rasa takut kehilangan yang sering menghantuiku.
Beginilah awal mula sampai aku berada di panti asuhan. Saat usiaku baru 5 tahun, aku tidak begitu paham dengan apa yang terjadi dengan keluargaku. Yang aku ingat adalah Papa tiba-tiba diseret orang-orang berbadan besar, dengan jaket kulit hitam khas pakaian preman. Mama menangis memohon meminta waktu sedikit lagi. “tolong sedikit waktu saja..” demikian rengek mama. Aku hanya bisa menangis ketakutan. Mungkin waktu itu, keluargaku sedang terlilit hutang kepada rentenir. Rumah kami disita, sampai harus membuat kami tinggal di kontrakkan kecil gang sempit. Tapi penderitaan tidak sampai disitu. Saat papa berusaha mencari pekerjaan, papa menjadi korban tabrak lari, dan meninggal seketika, mungkin mama tidak kuat dengan situasi yang ada, memilih pergi dari rumah kontrakkan dan tidak kembali, menyisahkan aku yang terus menangis tiada henti. Sampai seorang ibu pemilik kontrakkan membawaku ke panti asuhan terdekat. Hujan deras, dengan petir menyambar, saat Ibu-ibu bertubuh gemuk mengenakan daster khas rumahan menggendongku, membawaku ke panti asuhan dan menitipkannya di sana. Aku masih terus menangis. Campur aduk rasanya, takut, sedih, bingung, dan satu-satunya yang bisa kulakukan hanyalah terus menangis. Seorang bocah 5 tahun diatasku berusaha menenangkanku, dan mengatakan jangan menangis nanti hujannya tidak reda-reda. Aku tidak terbujuk sama sekali, tetap menangis tiada henti, rayuan beberapa pengurus panti juga tak mampu meredakan tangisanku. Sampai akhirnya aku lelah dan tertidur sendiri. ******* Namun, lambat laun aku pun mulai beradaptasi dengan keadaanku, meskipun jarang sekali aku berkomunikasi dengan teman-temanku jika tidak terlalu penting, kecuali bersama Kak Nat. Mungkin karena sikapnya yang tidak menyerah untuk terus mengajakku mengobrol.
“Mau ini?” Tanya kak Nat, dia menyodorkan coklat batangan kepadaku. Aku hanya menggeleng. Ini kesekian kalinya dia membujukku, dan aku mengeluarkan jurus andalanku menggeleng tanpa mengucapkan sepatah katapun. Sebaik apapun perlakuan para pengurus panti, maupun teman teman di sini, tetap saja masih ada yang kosong di ruang hatiku. Di lubuk hatiku terdalam aku terus berharap mama kembali. Satu hal yang kuyakini bahwa pasti ada alasan tepat mama meninggalkanku. “Aku janji aku akan membantumu mencari mamamu” begitu ucap Kak Nat yang selalu kuingat, membuatku langsung loncat kegirangan “Benarkah?” tanyaku dengan wajah berbinar. Kak Nat mengangguk mantap. Saat usiaku 15 tahun dan kak Nat 20 tahun, dia sudah bekerja di salah satu swalayan di mall terbesar di tengah kota. Aku masih baru memulai Sekolah Menengah Atas. Kami tumbuh seperti remaja pada umumnya, bahkan Kak Nat terlihat lebih dewasa dari umurnya. Sepulang bekerja Kak Nat selalu membelikan makanan ringan untukku dan mengajakku ke taman di belakang panti. Dia sudah tidak tinggal di panti semenjak bekerja, dan memilih ngekost di dekat tempat kerjanya. Di hari yang memang sedikit mendung sedari pagi, sore itu hujan deras sekali, aku mulai resah menunggu Kak Nat pulang dari kerja. Biasanya jam 4 sore dia sudah pulang, jika mendapat giliran kerja shift pagi. Ini sudah jam 5 lebih, tidak ada tanda-tanda Kak Nat pulang. Padahal meskipun hujan deras dia hampir tidak pernah terlambat menemuiku. Sesekali aku melihat keluar jendela, sepi, hanya nampak kabut yang pekat karena deras hujan yang semakin padat. 30 menit berlalu, sepintas aku melihat sosoknya berlarian dengan tubuh yang basah kuyup, seketika aku keluar dan membawakan payung, berlarian kecil untuk menghampirinya. Akan tetapi ada yang berbeda, wajah Kak Nat tidak secerah biasanya, perasaanku mendadak aneh, jantungku berdetak cepat dan rasa nyeri perlahan menggelayut. Kak Nat terdiam,dan tidak menyambut pemberian payung dariku. Tatapannya tajam dan sedikit kaku. "Kak?" sapaku lirih. Kak Nat masih terdiam, menghela napas panjang. “Aku harus pergi Rain,“ begitu ucapnya lirih, mendadak, tapi sangat jelas, aku tercengang kaget, sebuah perpisahan terucap dari bibir tipisnya. Tanpa memberiku kesempatan untuk mendapat jawaban, setelah aku mempertanyakan alasannya. Kak Nat langsung berbalik dan berlari dengan cepat menjauhiku. Sekeras apapun aku berteriak menyeruhkan namanya, berusaha mengejarnya tapi tak mampu juga, yang ada aku hanya terpaku dalam sebuah tanya besar "kenapa?" Kak Nat terus berlari tak menoleh sedikitpun kearahku, tubuhku terasa lemah, kesedihan yang menyesakkan hanya membuatku tergeletak lunglai dalam tangis. Berkali-kali aku menyebut namanya, memanggil namanya dengan lirih. Kak Nat tetap berlari menjauh, semakin jauh. Semenjak itu aku kesulitan mencarinya, baik di kost tempat tinggalnya, maupun di swalayan tempatnya bekerja. Aku berusaha menebak-nebak sendiri alasan Kak Nat pergi, tapi aku sama sekali tidak menemukan jawaban konkrit. Semuanya terasa buntu, dan kesedihan kembali menghantuiku, seperti dejavu, mengingatkanku pada peristiwa kepergian mama. Entah kenapa, akupun bertekad mencari Kak Nat. Aku ingin mempertanyakan kenapa dia harus pergi, juga tentu mempertanyakan tentang hubungan kita, apakah juga ada cinta di dalam hatinya, kami hanya sebatas adik kakak, atau ada sesuatu yang lebih. Apakah dia juga merasakannya? perasaan sayang yang lebih dari hanya sekedar adik kakak?Hujan selalu membuatku merasa sedih dan seketika ling-lung tak berdaya, ketika air-air itu turun dari tahta langit, saat itu juga tangisan di hatiku mulai mengelurkan butiran-butiran kesedihan yang tak terlihat. Hujan selalu mengingatkanku pada peristiwa menyesakkan, peristiwa ditinggalkan dan kehilangan, peristiwa ketidakmengertian akan kepergian orang-orang yang aku sayangi. 45 menit berlalu, hujan sudah redah, aku menghela napas tipis, menghapus butiran air mata yang masih membasahi pipiku, mengelapnya dengan tissue dan sedikit bercermin di depan spion. Aku menghela napas panjang sekali lagi dan melajukan mobilku perlahan untuk pulang sesegera mungkin. Semenjak Kak Nat pergi yang ada di pikiranku adalah bagaimana aku sekolah yang pandai, mendapatkan pekerjaan yang layak, dan punya banyak uang supaya aku bisa menyewa orang untuk mencari mama dan kak Nat. Tekad itu membuatku tumbuh menjadi wanita karier yang sukses terutama dalam hal finansial, tetapi kenyataannya untuk mencari mereka yang telah pergi meninggalkanku tanpa alasan jelas tak semudah perkiraanku. Menemukan mereka sesulit menemukan jarum dalam jerami, apalagi informasi yang aku miliki tidak banyak. Jelas makin memperumit pencarian. Mama di mana dia sekarang? setiap malam aku selalu merindukanmu benarkah tidak pernah sedikitpun mengingatku, memimpikanku bahkan merindukanku, sedalam aku merindukannya? Kak Nat, benarkah dia juga tidak merindukanku? Benarkah dia sudah lupa menepati janjinya untuk membantuku mencari mama? "Mama, kak Nat kalian dimana?" "Bisakah aku bertemu sekali saja dengan kalian?” Mengingat mereka selalu membuat air mataku jatuh tak tertahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain
Teen FictionRaina Virgi Anastasya, dipanggil Rain. Seorang wanita yang mengalami trauma psikis terhadap hujan, setelah mengalami peristiwa menyesakkan bertepatan dengan hujan tiba. Pertama adalah peristiwa mamanya yang meninggalkannya di rumah kontrakkan ketika...