Bab 6 Tanggung Jawab Besar

13 1 0
                                    

15 menit setelah Hara pergi, Shana tiba-tiba datang memasuki ruang kerjaku.

"Maaf mengganggu bu.." Ucapnya sembari menunduk.
"Masuk saja Shan, mau coba makanan ini?" Jawabku sambil menawarkan makanan yang dibawakan Hara.
"Terima kasih Bu, Pak Hara sudah memberi kami untuk dibagi bagi kok, itu kan spesial buat ibu hehe.." Jawab Shana sambil menggoda.

Aku beranjak dari sofa sembari berbicara "Ada-ada saja Shan..." Aku berjalan menuju meja kerjaku.

"Ibu cocok kok sama Pak Hara. Ganteng iya, Tajir melintir, jago masak, ramah, tidak sombong. Bener-bener komplit!" Shana berbicara panjang lebar, lupa keperluannya datang ke meja kerjaku. Aku dibuat tersenyum bergeleng.

"Kamu salah satu fans fanatiknya Hara juga?" Tanyaku. Shana ini sekretarisku yang sangat lucu, kecil mungil, berambut panjang sangat cekatan meskipun terkadang gampang panik. Usianya tidak jauh berbeda denganku, kadang aku risih dipanggil "ibu" tapi dia sendiri yang menolak demi alasan profesional kerja.

Shana senang berbicara, pribadi yang ekspresif, dan meledak ledak, apa yang dia rasakan itu yang dia ungkapkan, meskipun kadang terdengar berisik, tapi kehadirannya justru bisa merubah suasana tegang menjadi lebih santai.

"Gak ada wanita normal yang tidak tertarik dengan Pak Hara bu, coba liat senyumnya, bikin melting." Jawabnya girang sendiri dengan ekspresi kecentilan.

"Lebay kamu ya." Jawabku.
"Ya sudah, ada perlu apa?" tanyaku.
"Eh, gini Bu, tadi Pak Dika memberitahu saya, semua berkas penting yang membutuhkan tanda tangannya, katanya cukup minta tanda tangan ibu saja, karena semua wewenang akan segera diserahkan ke ibu. Terus kapan saya harus merubah isi surat atau mulai sekarang per tanggal berapa gitu bu?" Shana menatapku lamat-lamat.

Aku tidak terpikirkan kalau Papa Dika bergerak cepat, padahal surat balik nama atau pemindah tanganan yang tadi pagi dia serahkan belum aku baca sama sekali apalagi aku tanda tangani.

Aku menghela napas panjang, Shana masih terus menatapku. Ini bukan tanggung jawab yang mudah memimpin sendiri sebuah perusahaan besar dengan ratusan karyawan, yang nyaris seribu. Mempertahankannya bahkan harus mampu memajukannya. Aduh! Its HARD!

Posisiku sebagai anak angkat,sudah pasti menjadi beban tersendiri.
"Nanti saya bicarakan dengan papa Dika Shan.." Jawabku tersenyum.
"Baiklah..oiya untuk urusan reklame-reklame yang habis  pajaknya apa akan di perpanjang Bu?" Shana belum beranjak sama sekali.

"Beri semua berkasnya, soalnya saya mulai berpikir harus memangkas reklame-reklame yang tidak perlu, paling tidak mampu mengurangi biaya non operasionalnya, dan mengalihkan ke promosi lain yang lebih efektif" Jawabku.
Suasana hening.
"Nanti kita meetingkan lagi, yang penting saya periksa berkasnya dahulu." Lanjutku.

Shana mengangguk mantap segera pamit dan meninggalkan ruangan kerjaku.

Beberapa saat kemudian,

Ponselku bergetar, sebuah panggilan masuk, aku menatap layar ponsel, ternyata dari mamanya Hara.

"Iya tante Nia?" jawabku.
"Hallo Rain? Ga kangen sama tante?" Suara ramah tante Nia membuatku tersenyum sendiri. Mamanya Hara adalah pribadi yang tidak jauh berbeda dengan Hara anaknya, si sanguin penghidup suasana, orang yang hangat dan sangat care tentunya.

"Hehe, kangenlah tante, maaf sibuk terus belakangan ini, oiya tante makasih bolu kejunya, tadi Hara anterin ke kantor." Jawabku.

"Ooo baru tante mau tanya dianter beneran gak sama tuh anak, biasanya kan kamu yang suruh datang ke kafe. Kapan kamu ke rumah tante? Sesekali ajakin Pak Dika sama Bu Shinta gitu Rain." Tante Nia berbicara dengan nyaring tanpa titik koma, sebelas dua belas sama pembawa acara sepak bola di televisi, cuma ini versi wanitanya.

RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang