Mama Shinta dan Papa Dika, tidak mengijinkanku bekerja sabtu ini, gara-gara kejadian aku pingsan di kantor. Mereka sungguh panik dan memanggil dokter terhebat kenalan mereka untuk memeriksaku perihal trauma yang terjadi pada diriku. Kesehatanku tidak ada masalah, semua hanya soal masalah psikis dalam diriku, namun dokter tersebut mengatakan, jika terjadi berkepanjangan aku bisa menderita gangguan ritme jantung. Hara ternyata sudah menceritakan semuanya. Memang benar selama ini aku berusaha menyembunyikan itu dari mereka, supaya mereka tidak kuatir. Lagipula ini masalah aku pribadi mereka tak seharusnya ikut menanggungnya. Meskipun lambat laun mereka juga pasti akan tahu. Aku sendiri juga kurang paham dengan apa yang terjadi padaku, saat hujan turun, perasaan sedih dan tertekan menghantui diriku, membuat jantungku terasa ngilu, lidah menjadi kelu, air mata mengalir tak tertahan. Jika hanya gerimis yang datang aku bisa menahan, tapi hujan deras, aku tak mampu lagi menahannya, tubuhku serasa tak mampu menopang berat badanku sendiri, tulangku seketika terasa lumpuh. "Kesedihan apa yang kamu alami saat hujan tiba nak?" Mama Shinta bertanya kepadaku yang sedang duduk di ranjang tempat tidurku sembari termenung. Aku hanya terdiam dengan pertanyaan mama Shinta. "Bisa ceritakan ke mama? Eh tapi kalau belum siap, mama tidak akan memaksa Rain.." Ujar mama, menata ucapannya dengan benar berusaha tidak menyinggung. "Aku sudah berusaha melawannya ma, tapi sulit, sangat sulit sekali, kesedihan yang terjadi saat hujan tiba selalu terasa menyakitkan, sampai sekarang.." Jawabku mulai terisak. Mama Shinta langsung memelukku, dia tidak lagi mengatakan apa-apa atau memaksaku mengatakan apa yang membuatku trauma dan ketakutan dengan hujan. Mungkin memang inilah yang aku perlukan sebuah perlindungan, peluk kehangatan dari seorang mama yang selalu mententramkan yang sudah lama tidak kudapatkan. "Kamu istirahat dulu Rain, semoga besok kamu sudah jauh lebih baik, dan syukuran pertemuan keluarga berjalan lancar." Aku mengangguk, mama Shinta segera meninggalkan kamar tidurku. Jujur aku tidak suka jika harus berbaring di tempat tidur seperti ini, tidak melakukan apa-apa sungguh membosankan, yang ada hanya akan membuatku mengingat semua kenangan menyakitkan yang ingin kulupakan. Aku melakukan ini semua hanya untuk menuruti mereka, dan membuat mereka semakin tidak kuatir dengan keadaanku. Aku membuka ponselku, mengecek beberapa email yang masuk, kemudian membalas satu persatu, total ada 10 email yang masuk, dari beberapa klien besar dan langganan Papa Dika, mereka selalu menginginkan Papa Dika atau aku sendiri yang membalas. "Tidak bisakah kamu membiarkan dirimu istirahat sebentar saja Rain?" Hara mengagetkanku. Aku menghela napas, kebiasaannya adalah datang secara tiba-tiba tanpa permisi, entah rayuan apa yang dipakainya sehingga Mama Shinta dan Papa Dika menyukainya bahkan mengijinkannya bebas keluar masuk di rumah ini. Aku rasa dia memang pandai membuat orang simpati kepadanya, lovable person! Hebat! "Justru aku tidak akan bisa istirahat karena kehadiranmu Har.." Jawabku ketus seperti biasa. Hara menghampiriku yang masih duduk di tempat tidur. "Memangnya mama Shinta tidak bilang kalau aku sedang istirahat? Seenaknya saja kamu masuk," tanyaku, sebelum Hara memberi jawaban. "Aku sedikit mengintip hihi.." Jawab Hara selengekan, mengedipkan matanya sok cool. "Kamu belum tidur ya aku masuk, salah siapa pintu tidak dikunci.." Lanjut Hara langsung duduk di depanku. Sambil mengangkat kedua pundaknya, merasa tak bersalah. "Aku bawakan sop jagung campur telor rebus, kamu kan tidak suka ikan...bisa membantu menghilangkan cemas, aku bawakan juga kacang almond buat cemilan, makanan yang mengandung protein dan omega 3 bagus untuk meredahkan kecemasan, mungkin bisa menghilangkan traumamu, paling tidak mengurangi.." Hara ngomong panjang lebar dan dengan cekatan membuka sop jagung yang masih mengebul uap hangatnya, dan mengambil sendok. "Mau aku suapin?" Tanyanya. Aku menggeleng. Hara benar-benar perhatian kepadaku, tidak bisa dipungkiri meskipun tidak serius, slengekkan, menggampangkan masalah, sosoknya yang penyayang, selalu mengingatkanku pada Kak Nat.
***********
"Makan Rain, kalau terus sakit kapan bisa menemukan mama kamu?" Kak Nat berusaha merayuku karena tidak mau membuka mulut sama sekali. Demam yang cukup tinggi, membuat lidahku terasa pahit, makanan selezat apapun terasa tidak enak, semua makanan terasa pahit. Peristiwa itu kembali terngiang, saat aku sakit Kak Nat selalu menjagaku, memaksaku makan dan terus di sebelahku meskipun sering dimarahi ibu panti karena dia sampai bolos tidak bersekolah demi menjagaku. Mengingat Kak Nat selalu membuatku sangat merindukannya. Dimana dia sekarang? Kesedihan ini membuat dadaku ngilu dan mataku berkaca-kaca.
"Rain?.." Suara Hara mengangetkanku, meskipun terdengar lirih. "Ya?.." Aku menjawab dengan tatapan kaget "Kenapa melamun?" Tanya Hara.
"Teringat Kak Nat?" Hara kembali bertanya dengan pertanyaan berbeda sebelum aku menjawab.
Hara selalu tahu apa yang kupikirkan, kurasakan, tebakkannya tak pernah meleset, jika memang kebetulan, tebakkannya adalah kebetulan berulang, karena selalu benar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain
Teen FictionRaina Virgi Anastasya, dipanggil Rain. Seorang wanita yang mengalami trauma psikis terhadap hujan, setelah mengalami peristiwa menyesakkan bertepatan dengan hujan tiba. Pertama adalah peristiwa mamanya yang meninggalkannya di rumah kontrakkan ketika...