Bab 5 Menikah?

15 2 0
                                    

Hari ini bisa dikatakan cukup sibuk di kantor, dari pagi aku memulai meeting dengan para karyawan. Hampir satu minggu ini aku tidak mendengar keluhan, pendapat, maupun evaluasi dari mereka di masing-masing bagian.

Bagiku ini sangat penting, karena aku bisa tahu apa yang menjadi isi hati mereka atau bisa saja muncul ide-ide cemerlang diantara mereka.

Meskipun aku menggantikan Papa Dika memimpin perusahaan ini, aku tidak serta merta memaksakan pendapatku kepada mereka, atau merubah sistem yang ada dengan mengandalkan jabatanku. Aku tetap mendengar keluhan, saran, maupun pendapat mereka secara terbuka.

Aku belajar dari Papa Dika bagaimana dia memimpin dan aku mempraktekkanya dengan gayaku sendiri. Dua jam berlalu meetingpun akhirnya selesai.

"Shan, kamu punya ide strategi baru untuk perusahaan kita?" tanyaku kepada Shana usai meeting.

"Hmm... belum ada ide si Bu, cuma saran saja untuk lebih memperhatikan klien yang sudah lama bekerjasama dengan kita, dengan memberi mereka banyak kemudahan. Soalnya masalah reputasi dan promosi kita sudah oke kok bu. Kalau klien yang bekerja sama dengan kita puas, dia bisa memprosikan secara gak langsung ke rekan-rekan bisnisnya." Shana menjelaskan.

Aku mulai memikirkan apa yang diutarakan Shana. Ya ada benarnya sih, jadi kita tidak hanya mengutamakan klien yang baru tapi juga tetap menperhatikan klien yang lama.

"Hai nak, sibuk?" Papa Dika tiba-tiba muncul dibalik pintu, Shana yang mengetahuinya langsung pamit undur diri. "Papa?" Sapaku sembari tersenyum. "Kamu sibuk nak?" Tanyanya "Yaa, lumayan, baru selesai meeting" jawabku. Papa hanya menatapku dengan lembut dan tersenyum.

Papa datang ke kantor tidak sendiri, dia ditemani oleh seseorang yang tidak aku kenal.

"Papa ingin mengatakan sesuatu kepadamu nak, kemarilah.." Papa Dika memintaku duduk di sova tamu yang masih satu ruangan dengan ruang kerjaku. Akupun menghampirinya dengan banyak tanya di pikiranku. "Jangan tegang seperti itu wajahnya.." Papa Dika menatapku dengan hangat.

"Kenalkan ini Pak Rinto sahabat sekaligus pengacara papa." Papa memperkenalkan pria paruh baya bertubuh tambun kepadaku. Akupun segera mengulurkan tanganku dan mengangguk tanda hormat.

"Begini nak setelah papa pikirkan dan diskusikan dengan mama, papa ingin balik nama Perusahaan Dirgantara Advertising menjadi atas nama kamu " Papa Dika tersenyum menatapku. Aku sudah membuka mulutku ingin menolak tapi Papa Dika kembali mendahului pembicaraan.

"Papa semakin hari sudah semakin tua nak, rasanya lelah sekali kalau harus mengurus dan menandatangani banyak berkas, lagipula papa ingin punya banyak waktu menemani mama Shinta, tahu sendiri kan mamamu seperti apa?"

"Tapi.." jawabku menyela kemudian terdiam, jujur aku tidak ingin Papa Dika melakukan hal ini. Keluarga Dirgantara sudah memberiku lebih dari cukup, memasukkan aku ke perguruan tinggi, memberi pekerjaan sekaligus mempercayakanku mengelolah perusahaan. Ini semua sudah lebih dari yang seharusnya aku dapatkan, belum lagi masalah biaya untuk tim detektif Pak Arya, itu tidak murah. Satu lagi yang paling penting kasih sayang mereka yang tidak bisa dinilai dan digantikan oleh apapun dan siapapun.

"Maaf pa apa tidak berlebihan..?" Tanyaku, jujur ini beban bagiku, aku bukan anak kandung Papa Dika, akan semakin banyak orang yang berpikir negatif tentang hal ini.

"Tidak ada yang berlebihan nak, siapa lagi yang meneruskan usaha papa?" Papa Dika menjawab dengan santai. "Bisa kamu berikan berkas-berkas yang harus ditandatangani, Rinto?" Tanya Papa Dika ke Pak Rinto, pengacara yang bertubuh tambun di sebelahnya itu yang sedari tadi hanya diam dan memperhatikan. Dengan segera Pak Rinto menyerahkan berkas dalam sebuah map berwarna hijau muda.

RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang