05. Ustadz Zaen

14 5 0
                                    

Malam itu adalah malam yang cerah. Walaupun angkasa agak sedikit dihalangi oleh awan, rembulan tetap berusaha untuk menunjukkan wujudnya.

Kami tiba di rumah Ust. Zaen. Sesampainya di sana, kami langsung melaksanakan shalat Maghrib berjamaah di masjid. Saat shalat, Ust. Zaen tidak shalat bersama kami. Salah satu orang terdekat Ust. Zaen mengimami shalat itu.

Selesai shalat, kami tidak langsung bubar. Kami berdoa bersama. Di antara doa yang sangat sering kami bacakan adalah, "Allahummas tur 'anni 'aiba mu'allimi (Yaa Allah. Tutuplah aib-aib guruku dariku)". Karena seperti yang telah kukatakan sebelumnya, secinta apapun diri kita, apabila kita melihat keburukan yang ada pada diri seseorang yang kita cinta, maka itu bisa mempengaruhi rasa cinta tersebut. Maka dari itu, aku tidak mau benci dengan Ust. Zaen.

Aku harus menjauhkan diri dari orang-orang yang membicarakan keburukan tentang Ust. Zaen. Aku harus tutup telinga di kala orang lain menjelek-jelekkannya. Aku harus memejamkan mata apabila kejelekan Ust. Zaen nampak di hadapanku. Aku tidak ingin membenci beliau.

Tugas kami sebagai seorang penuntut ilmu bukan hanya sekedar belajar saja. Kami juga harus membuat hati guru menjadi senang. Apapun itu caranya, bagaimanapun jalannya, selama kami mampu melakukan hal tersebut, kami akan melakukannya.

Guru kami, Ust. Zaen lebih mementingkan akhlak ketimbang ilmu. Menurut beliau, orang yang memiliki akhlak bagus dan minim ilmu ini jauh lebih utama ketimbang orang yang memiliki ilmu namun minim akhlak.

Beliau juga pernah mengutip sebuah kata-kata dari ulama besar yang berbunyi, "Jadikanlah adabmu sebagai tepung dan ilmumu sebagai garam". Dalam membuat adonan, tentu saja tepung yang paling banyak. Karena jikalau garamnya yang banyak, tentu saja masakan akan menjadi asin, tidak enak.

Seperti yang kukatakan sebelumnya, tugas kami sebagai penuntut ilmu ini bukan hanya sekedar belajar. Kami juga harus membuat hati seorang guru menjadi senang. Maka dari itu, setelah shalat Maghrib, kami langsung berbagi tugas untuk membereskan dan membersihkan rumah guru.

Luay dan Faris mendapat bagian menyapu dan mengepel halaman dan teras rumah guru. Aku tidak tahu persis siapa yang menyapu dan siapa yang mengepel. Yaah, mereka sudah dewasa, jadi mereka mungkin membagi-bagi tugas. Sedangkan diriku ini mendapat bagian untuk mencuci piring-piring guru yang kotor.

Aku melihat mereka masih bertengkar masalah pembagian tugas. Mereka mendapati bagian menyapu dan mengepel halaman dan teras rumah guru. Ini berarti, tugas mereka ada tiga, yaitu menyapu teras rumah guru, menyapu halaman rumah guru, dan mengepel teras rumah guru. Masing-masing dari mereka berebutan ingin mengerjakan dua tugas dari tiga tugas ini. Mereka paham betul tentang keberkahan yang akan didapat dari jalur tersebut.

Aku juga sangat senang melihat kedua temanku ini saling berlomba-lomba dalam rangka mendapatkan hati seorang guru. Namun di sisi lain, haruskah mereka berebutan untuk mengerjakan dua dari tiga tugas tersebut?

"Ris. Gue pokoknya nyapu sama ngepel teras rumah Ust. Zaen. Lu yang nyapu halaman."
"Apa-apaan lu. Ga ga. Gue ajah yang ambil dua tugas itu. Elu nyapu halaman ajah."
"Lu kok ngeselin, si?"
"Emang lu ga ngeselin? Lu ngeselin juga." Mereka berbicara dengan nada tinggi. Mereka saling tatap. Mereka tidak berbicara kasar di rumah guru. Aku salut dengan mereka yang dapat mengontrol lisan mereka. Jika bukan di rumah guru, pasti Faris akan berkata seperti ini, "Emang lu ga ngeselin, nyet? Lu ngeselin juga, anjing!"

"Huuuhh. Bocah-bocah." Ucapku sambil menggeleng-geleng kepala.
"Nanti gue jajanin nasi kimpul, Ris."
"Ga ah. Kapok gue."
"Yaelah lu."
"Pokoknye gue nyapu dan ngepel teras rumah Ust. Zaen. Lu yang nyapu halaman rumahnya, Ay."

Aku menghela nafas dan langsung berbicara.
"Astaga lu bedua. Berebut tugas terus, ga kelar-kelar dah jadinya. Luay nyapu rumah ust. Zaen, Faris nyapu halamannya. Yang paling cepet dan paling rapih kerjaannya bisa langsung ngepel terasnya."
Aku mengucapkan hal tersebut. Aku gregetan dengan tingkah mereka berdua. Mereka terus-menerus berebutan tugas tanpa melakukan satu tugas pun.
"Nah boleh tuh, Mas. Deal nih ye". Ucap Luay sambil menjulurkan tangannya.
"Okey. Deal!" Ucap Faris. Mereka pun bersalaman.

Mariposa di Angkasa (ONGOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang